TT-22


kembali | lanjut

TT-22KITA akan menyesuaikan diri dengan sikap Ki Demang” berkata Ki Udyana.

Namun Wikan pun kemudian bertanya, “Tetapi bukankah tanah yang akan disediakan sebagaimana dijanjikan oleh Ki Demang itu bukan tanah milik rakyatnya?”

“Tentu bukan. Padang rumput itu adalah tanah kekayaan kademangan. Agaknya padang rumput itu juga kurang baik untuk digarap menjadi tanah pertanian. Tetapi jika tanah itu digarap oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman dari Mataram, tentu akan dapat menjadi petamanan pasanggrahan yang sangat baik. Dengan sedikit olahan, maka padang rumput itu tentu akan dapat menjadi tanah petamanan yang subur”

“Syukurlah. Jika tanah yang dijanjikan oleh Ki Demang itu adalah tanah rakyat kecil, yang hidupnya bergantung kepada tanah itu, maka rencana itu perlu ditinjau kembali, sehingga tidak akan menimbulkan persoalan dengan pemilik tanah itu”

“Tidak. Ki Demang sudah memikirkannya. Itulah sebabnya, maka tanah yang akan diserahkan adalah padang rumput itu. Padang rumput itu terbentang sepanjang jalur sungai. Jika akan dibangun sendang buatan, maka airnya akan dapat diambil dari sungai itu. Mungkin belumbang-belumbang yang akan ditebari berbagai jenis ikan akan dibuat pula di tepi sungai itu”

“Ya. Agaknya padang rumput itu akan dapat memenuhi syarat. Bahkan seandainya akan dibuat sebuah lapangan untuk bermain dengan kuda”

Pembicaraan itu pun berlangsung sampai jauh malam. Ketika terdengar suara kentongan dalam irama dara muluk, maka Nyi Udyana pun berkata, “Kakang dan Wikan tentu letih”

Malam itu Ki Udyana dan Wikan yang letih dapat tidur dengan nyenyak. Apalagi Tatag yang tidur dalam kehangatan pelukan ibunya yang sudah beberapa hari ditinggalkannya.

Di hari-hari berikutnya maka perhatian kepada Tatag menjadi semakin besar. Tetapi kedua orang tuanya tidak menunjukkan sikap yang berlebihan. Tatag harus terkendali, tetapi tidak boleh menjadi manja.

Yang masih membuat kedua orang tuanya kadang-kadang menjadi gelisah adalah kebiasaan Tatag pergi ke hutan seorang diri. Tetapi lambat laun, kegelisahan itu pun menjadi berkurang. Kedua orang tua Tatag, bahkan kakek dan neneknya semakin meyakini bahwa Tatag mempunyai banyak sahabat di hutan itu. Binatang-binatang yang lemah sehingga binatang-binatang buas yang hidup liar. Bahkan burung-burung yang hidup di dahan-dahan kayu yang tinggi.

Binatang yang paling licik pun tidak mengganggunya. Ketika Tatag tertidur di pinggir hutan, beberapa ekor anjing liar tidak mengganggunya. Anjing-anjing liar itu seakan-akan mengerti, bahwa Tatag bersahabat dengan berbagai jenis harimau. Bahkan harimau kumbang pun tidak mau lagi mengganggunya, setelah seekor harimau kumbang hampir mati diterkam seekor harimau loreng yang besar, karena harimau kumbang itu merunduk Tatag yang sedang bermain di pinggir hutan dengan beberapa ekor lingsang kecil.

Orang-orang se-padepokan pun akhirnya tidak terlalu mencemaskannya lagi. Meskipun demikian, setiap kali Tatag hilang, maka ayahnya dan kakeknya selalu mencarinya.

Orang-orang sepadepokan itu kemudian justru menganggap bahwa Tatag dapat berbicara dengan berbagai jenis binatang. Binatang liar yang ganas, serta binatang liar yang lemah sekalipun. Bahkan dengan berbagai kera jenis kecil, sehingga kera yang besar dan berbahaya, yang mempunyai naluri untuk hidup bergerombol sehingga ditakuti oleh jenis-jenis binatang yang lain, termasuk harimau loreng.

Dalam hubungannya dengan rencana untuk membuat sebuah pasanggrahan bagi keluarga penguasa di Mataram, Ki Udyana telah memerlukan bertemu dengan Ki Demang. Ki Udyana pun telah mendengar sendiri, bahwa padang rumput yang terletak di sebelah padang perdu tidak jauh dari hutan, telah disediakan oleh Ki Demang. Padang rumput itu cukup luas. Sebuah sungai yang cukup besar mengalir di tengah-tengahnya. Letaknya tidak jauh dari hutan yang dapat menjadi hutan buruan yang tertutup. Yang hanya boleh dimasuki oleh keluarga terdekat penguasa di Mataram yang sedang berada di pasanggrahan itu.

“Apakah Ki Udyana mempunyai keberatan?” bertanya Ki Demang.

“Tidak Ki Demang. Pada dasarnya aku sependapat. Jika ada masalah itu adalah masalahku dan keluarga padepokanku”

“Masalah apa ki Udyana?”

“Cucuku adalah seorang yang sangat mencintai binatang. Bahkan seakan-akan ia hidup diantara binatang. Tidak hanya binatang peliharaan di rumah. Lembu, kerbau, kambing dan apalagi kuda, tetapi ia juga berada diantara binatang-binatang hutan, sehingga kadang-kadang ia membuat kami seisi padepokan menjadi cemas. Ia tidur bersama anak-anak harimau dan anak-anak monyet bermoncong serigala”

“Binatang-binatang itu sangat berbahaya, Ki Udyana”

“Ya. Mula-mula kami menjadi gemetar menyaksikannya. Tetapi lambat laun kami sudah agak terbiasa. Bahkan ketika Tatag pulang agak kemalaman, ia pernah diantar oleh tiga ekor kera berambut coklat di ubun-ubunnya”

Ki Demang menarik nafas panjang. Kera-kera yang hidup bergerombol itu adalah kera-kera liar yang sangat berbahaya.

Ceritera tentang hubungan Tatag dengan binatang itu telah membuat rambut Ki Demang meremang.

“Sekarang tidak seorang pun diantara para cantrik yang pergi berburu. Setiap kali ada yang pergi berguru, Tatag selalu mengganggunya. Bahkan Tatag menjadi marah dan merajuk”

“Tetapi padang rumput, padang perdu dan hutan itu terletak agak jauh dari padepokan Ki Udyana” berkata Ki Demang, “Mudah-mudahan perburuan di hutan tertutup itu tidak menyinggung perasaan cucu Ki Udyana”

“Aku akan mengajarinya untuk menghormati sikap dan kebiasaan orang lain” berkata Ki Udayana.

“Ya. Selain itu hutan buruan itu membujur ke Barat. Sedangkan padepokan Ki Udyana terletak di sebelah Timur Kademangan ini”

Meskipun demikian, Ki Udyana tidak dapat menyingkirkan angan-angannya tentang kemungkinan buruk yang dapat terjadi, seandainya Tatag kelak mengetahui, bahwa hutan itu adalah hutan tutupan tempat keluarga penguasa di Mataram berburu.

Tetapi perburuan yang demikian itu terjadi tentu jarang sekali. Apalagi pasanggrahan yang akan dibangun bukanlah sebuah pasanggrahan yang besar bagi Sinuhun di Mataram, meskipun sekali-sekali Sinuhun di Mataram juga akan datang ke pasanggrahan itu. Tetapi Kangjeng Sinuhun di Mataram mempunyai beberapa pasanggrahan yang lain, sehingga yang akan sering berada di pasanggrahan itu hanya keluarga Kangjeng Sinuhun, sementara pasanggrahan-pasanggrahan yang lain sudah dipergunakan terus menerus sehingga waktunya sudah tidak menampung lagi, karena demikian banyak keluarga Sinuhun yang akan mempergunakannya.

Dari Ki Demang, Ki Udyana pun telah mendengar rencana yang sudah disiapkan oleh Ki Demang tanpa merugikan rakyatnya. Bahkan Ki Demang berharap, bahwa keberadaan pasanggrahan itu akan dapat berakibat baik bagi kesejahteraan hidup rakyatnya, meskipun mungkin tidak akan terlalu dapat diharapkannya.

Namun yang tidak diduga oleh Ki Udyana itu pun telah terjadi. Justru agak menyimpang dari keterangan Ki Demang yang telah dikatakan kepadanya.

Seisi padepokan itu terkejut ketika menjelang tengah hari, beberapa orang berkuda telah mendatangi padepokan Ki Udyana. Menilik pakaian serta kelengkapan yang ada pada mereka, maka mereka tentu para petugas dari Mataram.

Dengan tergopoh-gopoh Ki Udyana dan Nyi Udyana pun telah mempersilahkan mereka.

“Kedatangan Ki Sanak memang agak mengejutkan kami” berkata Ki Udyana, “jika berkenan di hati Ki Sanak, kami ingin mengetahui, siapakah Ki Sanak sekalian, darimana dan barangkali ada keperluan apa?”

Seorang yang bermata tajam, berhidung besar serta berkumis lebat, yang agaknya pemimpin dari beberapa orangku menjawab sambil tersenyum, “Aku adalah Panji Suranegara. Yang lain adalah para petugas dari Mataram pula seperti aku sendiri. Apakah Ki Sanak pemimpin dari padepokan ini?”

“Kami berdua adalah orang-orang yang dituakan di padepokan ini Ki Panji Suranegara. Namaku Udyana. Dan ini adalah isteriku”

“Bagus. Kami memang ingin bertemu dengan pemimpin padepokan ini”

Pembicaraan mereka terputus ketika Tanjung keluar dari pintu pringgitan di bangunan utama padepokan itu untuk menghidangkan minuman dan makanan.

Seorang diantara mereka yang datang bersama Ki Panji itu sempat pula bertanya, “Siapakah perempuan ini? Apakah ia juga murid dari padepokan ini?”

Ki Udyana mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Perempuan itu adalah menantuku, Ki Sanak”

“Menantu? Jadi perempuan itu sudah bersuami? Seorang yang duduk disampingnya menggamitnya.”

“Ya, Ki Sanak. Suaminya adalah anakku”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Yang kemudian berbicara adalah Ki Panji Suranegara, “Ki Udyana. Kami datang dengan mengemban perintah langsung dari Sinuhun di Mataram”

“Perintah bagi siapa Ki Panji?”

“Perintah bagi kami untuk mendatangi dan berbicara dengan pemimpin padepokan ini”

Ki Udyana mengangguk-angguk, “Titah apakah yang Ki Panji bawa kepada kami?”

“Ki Udyana” berkata Ki Panji dengan sungguh-sungguh, “sebelumnya aku ingin memberitahu, bahwa ada rencana dari Kangjeng Sinuhun di Mataram untuk membangun sebuah pesanggrahan di daerah ini”

Ki Udyana dan Nyi Udyana mengangguk-angguk. Mereka sudah pernah mendengar rencana itu, tetapi mereka tidak mau mendahului keterangan Ki Panji Suranegara.

Sementara itu, Ki Panji Suranegara pun berkata selanjutnya, “Untuk itu, Ki Udyana, kami yang ditugaskan untuk mempersiapkan pembangunan pasanggrahan itu memerlukan sebidang tanah yang cukup luas. Ada pun tanah yang kami perlukan, kebetulan adalah tanah penyangga dari padepokan ini”

Ki Udyana dan Nyi Udyana saling berpandangan sejenak.

“Ki Udyana” berkata Ki Panji Suranegara kemudian, “karena tanah yang kami perlukan adalah tanah yang selama ini dipergunakan oleh padepokanmu, maka sekarang aku datang untuk memberitahukan kepadamu, bahwa tanah itu diperlukan oleh Kangjeng Sinuhun di Mataram”

Ki Udyana mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian ia pun bertanya, “Lalu bagaimana dengan kami, Ki Panji? Jika tanah penyangga dari padepokan ini diambil, maka bagaimana kami dapat hidup. Tanah itu memberikan makan kepada kami. Tanah itu menghasilkan bahan pangan yang sebagian kami tukarkan bahan-bahan kebutuhan hidup kami sehari-hari”

“Kau akan mendapat ijin untuk menebang hutan sebelah. Kau dapat menggarap tanahnya untuk keperluan padepokanmu”

“Itu memerlukan waktu, Ki Panji. Lalu selama ini, bagaimana dengan beban kebutuhan kami sehari-hari. Apalagi jika tenaga kami harus kami kerahkan untuk menebang hutan”

“Aku percaya, bahwa Ki Udyana tidak akan kekurangan akal. Kehidupan para cantrik di padepokan tentu sudah terbiasa mengalami pasang surut. Kadang-kadang segala sesuatunya lancar, namun kadang-kadang segala sesuatunya harus diselesaikan dengan kerja keras”

“Ki Panji benar. Tetapi tentu kami mempunyai batas-batas kemampuan, sehingga kami tidak akan dapat menjangkau apalagi jauh diluar kemampuan kami”

“Ki Udyana. Kami adalah petugas yang mengemban perintah Kangjeng Sinuhun di Mataram. Maaf, kalau kami menyampaikan pesan yang barangkali agak kurang menyenangkan bagi Ki Udyana. Tetapi kami tidak dapat berbuat lain”

“Ki Panji, apakah Kangjeng Sinuhun bersedia mendengarkan sesambat kami? Mungkin jika Kangjeng Sinuhun bersedia mendengarkan kesulitan-kesulitan kami, maka Kangjeng Sinuhun akan mengambil kebijaksanaan lain”

“Kebijaksanaan yang mana Ki Udyana. Kebijaksanaan tentang pembuatan pesanggrahan itu sudah diputuskan. Segala sesuatunya yang berkaitan dengan rencana pembangunannya sudah disusun pula, sehingga kami tinggal melaksanakannya saja”

“Ki Panji. Maaf jika aku sedikit mempersoalkan rencana pembuatan pesanggrahan itu. Yang akan aku persoalkan bukan kebijaksanaan Kangjeng Sinuhun untuk membuat pesanggrahan. Tetapi pelaksanaannya saja”

“Apa yang akan Ki Udyana persoalkan?”

“Ki Panji. Sebenarnyalah rencana pembangunan sebuah pesanggrahan itu sudah aku dengar dari Ki Demang. Jika mungkin Ki Panji belum mendengar, bahwa Ki Demang telah menyediakan tanah secukupnya untuk membangun pesanggrahan itu. Pesanggrahan itu sendiri serta lingkungan serta petamanannya. Karena itu, kesediaan Ki Demang menyediakan tanah itu, tentu akan merupakan satu keringanan tugas yang besar bagi Ki Panji”

Wajah Ki Panji tiba-tiba saja menjadi tegang. Sejenak ia memandang beberapa orang yang menyertainya. Namun kemudian Ki Panji itu pun berkata, “Ki Demang memang ingin menjilat, ia mengaku sudah menyediakan tanah yang luasnya cukup memadai. Tetapi ternyata tanah yang disediakan Ki Demang itu tidak lebih dari satu dua bahu sawah yang kering dan tidak dapat ditanami. Tentu bukan tanah yang seperti itu yang dikehendaki untuk membangun sebuah pesanggrahan serta lingkungan dan petamanannya”

“Apakah Ki Demang masih belum mengatakan kepada Ki Panji, bahwa yang disediakan oleh Ki Demang adalah sebuah padang rumput yang luas yang terletak di sisi Barat dari Kademangan itu? Padang rumput yang berbatasan dengan padang perdu, sehingga memungkinkan pasanggrahan itu dapat dibangun di atas tanah yang seberapa pun diperlukan. Baru kemudian, di seberang padang perdu itu terdapat sebuah hutan memanjang. Hutan yang akan dapat menjadi hutan buruan yang tertutup. Sementara itu sebuah sungai yang tidak begitu dalam, tetapi cukup deras, mengalir di tengah-tengah padang rumput itu, sehingga di padang rumput itu akan dapat dibangun pula sebuah sendang buatan yang akan menjadi tempat pemandian yang baik”

Jantung Ki Panji serasa berdebar semakin cepat. Ternyata Ki Udyana itu sudah mengetahui terlalu banyak tentang rencana pembuat pasanggrahan di kademangan itu. Meskipun demikian Ki Panji itu pun berkata, “Ki Udyana. Aku adalah pelaksana dari pembuatan pasanggrahan itu. Karena itu, aku tentu mengetahui lebih banyak dari Ki Demang yang ingin mendapat pujian dari para pemimpin di Mataram. Aku tahu apa yang sudah disediakan oleh Ki Demang. Tetapi lingkungannya sama sekali tidak memadai. Berbeda dengan lingkungan di sekitar padepokan ini. Disini terdapat beberapa gumuk kecil. Tanah yang sedikit miring dengan sekat-sekat pematang yang tersusun seperti tangga. Air yang melimpah serta hamparan lembah yang luas. Di sebelah Utara terdapat padang perdu yang memisahkan lingkungan ini dengan hutan yang kelak akan menjadi hutan tutupan”

“Ki Panji Suranegara” berkata Ki Udyana, “bukan maksud kami menentang kebijaksanaan Kangjeng Sinuhun di Mataram. Tetapi aku masih akan bertemu dan berbicara dengan Ki Demang lagi. Ternyata terdapat perbedaan keterangan yang Ki Panji Suranegara berikan dengan yang dikatakan oleh Ki Demang”

“Kau tidak usah menghiraukan Ki Demang. Ki Udyana. Kedatanganku pun tidak minta persetujuanmu. Yang aku katakan adalah perintah dari Kanjeng Sinuhun. Kau tinggal melaksanakannya saja. Karena itu, sejak esok pagi, benahi padepokanmu. Dalam dua tiga hari ini kami akan datang bersama beberapa orang petugas untuk memasang patok-patok sebagai ancar-ancar pembangunan pasanggrahan itu. Tidak ada seorang pun yang tinggal di Mataram dapat membantah perintah Kangjeng Sinuhun di Mataram”

“Ki Panji Suranegara” berkata Ki Udyana kemudian, “benar tidak ada seorang pun yang dapat membantah perintah Kangjeng Sinuhun. Tetapi bagaimana aku tahu, bahwa Ki Panji Suranegara adalah pelaksana yang ditunjuk oleh Kangjeng Sinuhun. Bagaimana aku tahu, bahwa apa yang dikatakan oleh Ki Demang itu tidak benar, hanya sekedar bualan dalam usahanya untuk menjilat?”

“Jadi Ki Udyana tidak percaya kepadaku?”

“Selama ini kita belum pernah berkenalan, Ki Panji. Karena itu, maka aku mohon maaf, bahwa aku ingin meyakinkan dengan siapa aku berhadapan. Setiap orang dapat saja datang kepadaku dan mengatakan sesuatu yang sulit untuk diterima begitu saja tanpa bukti-bukti yang dapat dipercaya”

Seorang yang berwajah keras berkata dengan lantang, “Kau adalah kawula Mataram. Bagaimana mungkin kau menolak perintah Ingkang Sinuhun”

“Tidak ada yang berani menolak perintah Kangjeng Sinuhun, Ki Sanak. Aku hanya ingin tahu, apakah benar perintah ini perintah Kangjeng Sinuhun”

“Kau telah meremehkan kami, Ki Udyana” berkata orang yang mempertanyakan Tanjung, “Kami adalah pejabat. yang dihormati di Mataram”

“Maaf Ki Sanak. Kami pun menghormati Ki Sanak. Tetapi kami tidak mengetahui, bahwa Ki Sanak adalah pejabat dari Mataram”

“Baiklah” berkata Ki Panji Suranegara, “besok lusa, kami akan datang. Kami akan menanam patok-patok di sekitar padepokan ini. Bukan hanya di padepokan ini, tetapi patok-patok yang akan kami pasang akan sampai ke padukuhan sebelah”

“Ki Panji. Kami menyatakan keberatan dengan sikap Ki Panji Suranegara. Kecuali jika Ki Panji dapat menunjukkan bukti bahwa Ki Panji benar-benar utusan Kangjeng Sinuhun di Mataram”

Ki Panji Suranegara itu menggeram. Namun ia pun kemudian berkata, “Sekarang, kami minta diri. Ingat, besok lusa kami akan datang”

Yang lain pun bangkit berdiri pula. Mereka pun segera turun ke halaman.

Sejenak kemudian, maka beberapa orang berkuda itu telah meninggalkan padepokan Ki Udyana sambil mengancam, bahwa esok lusa, mereka akan datang lagi. Mereka tidak mau dihalangi, karena pelaksanaan pembuatan pasanggrahan itu dibatasi oleh waktu. Kangjeng Sinuhun tidak mau pembuatan pasanggrahan itu tertunda lagi.

Sepeninggal Ki Panji Suranegara, maka Ki Udyana pun segera mengajak Wikan untuk menemui Ki Demang.

“Aku harus menuntaskan pembicaraan ini dengan Ki Demang”

“Ya, kakang. Persoalannya harus segera menjadi jelas. Waktunya hanya sedikit sekali”

Demikianlah, Ki Udyana dan Wikan pun segera memacu kuda mereka melintasi beberapa bulak dan padukuhan untuk menjumpai Ki Demang yang kebetulan ada di rumahnya.

Dengan ramah Ki Demang pun mempersilahkan Ki Udyana dan Wikan untuk naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.

“Nampaknya ada yang penting Ki Udyana. Aku melihat kesungguhan wajah Ki Udyana dan angger Wikan”

Ki Udyana tersenyum. Katanya, “Apakah wajahku nampak bersungguh-sungguh?”

“Ya. Karena itu, aku menduga, bahwa ada sesuatu yang penting yang akan KI Udyana sampaikan kepadaku”

Ki Udyana pun menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berceritera tentang seorang yang mengaku bernama Panji Suranegara, seseorang yang telah diserahi untuk melaksanakan pembuatan pasanggrahan itu.

Ki Demang mendengarkan ceritakan Ki Udayana itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali wajah ki Demang nampak tegang. Bahkan Ki Demang itu pun sekali-sekali menggeleng-gelengkan kepalanya.

Demikian Ki Udayana selesai dengan ceritanya, maka Ki Demang itu kemudian berkata, “Ki Udayana. Yang pernah datang menemui aku dan berbicara tentang pesanggrahan itu bukannya seorang yang bernama Panji Suranegara. Tetapi Ki Rangga Kriyadipraja yang mendapat tugas dari Ki Tumenggung Yudapangarsa”

Ki Udayana itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada datar Ki Udayana itu pun kemudian bertanya, “Jadi, bagaimana menurut pendapat Ki Demang?”

“Ki Udayana” berkata Ki Demang kemudian, “bagaimana pendapat Ki Udayana jika kita menemui Ki Rangga Kriyadipraja”

“Ke Mataram?”

“Tidak. Kita akan pergi ke Kembangarum. Ki Rangga Kriyadipraja berada di Kademangan Kembangarum”

“Baik Ki Demang. Kapan kita akan menghadap Ki Rangga?”

“Kita harus pergi secepatnya, Ki Udyana. Bagaimana jika kita besok pergi ke Kembangarum?”

“Aku mempunyai banyak waktu luang, Ki Demang. Jika Ki Demang merencanakan untuk menghadap esok, maka biarlah aku esok pagi datang kemari bersama anakku ini. Kita akan dapat langsung pergi ke Kembangarum”

“Baik, Ki Udayana. Aku menunggu. Esok pagi-pagi aku akan bersiap-siap. Nampaknya persoalan ini memang harus di tangani dengan cepat sebelum menjalar lebih parah lagi”

Ki Udayana dan Wikan pun kemudian minta diri setelah mereka membuat kesepakatan buat esok pagi.

Namun diperjalanan kembali ke padepokan, Ki Udayana dan Wikan melihat beberapa orang yang berkeliaran di bulak-bulak persawahan diantara beberapa padukuhan. Mereka pun melihat tiga orang sedang mengamati sawah dan ladang penyangga padepokan yang di pimpin Ki Udayana itu.

“Siapakah mereka itu paman?”

“Nampaknya mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam pembuatan pesanggrahan di kademangan ini.

“Tetapi perhatian mereka tidak hanya pada padang rumput yang dikatakan oleh Ki Demang. Tetapi perhatian mereka tertuju justru ke padukuhan-padukuhan yang lain serta tanah penyangga padepokan kita”

“Itulah yang esok kita ingin mendapat penjelasan dari Ki Rangga Kriyadipraja”

“Paman, apakah sebaiknya kita mengusir mereka yang berada di tanah kita? Bukankah tanah itu sah milik kita, karena Ki Demang telah menyerahkan tanah itu kepada kita serta mengijinkan kita mengembangkannya?

“Jangan Wikan. Kita jangan membuka persoalan dengan mereka sebelum kita mendapat penjelasan apa yang sebenarnya terjadi. Jika benar mereka mengemban tugas dari Ingkang Sinuhun di Mataram, maka kita memang tidak dapat berbuat apa-apa.

“Jika mereka berbuat atas kehendak mereka sendiri?”

“Karena itu kita harus tahu pastikan apakah mereka bertindak atas kemauan mereka sendiri, tidak atas kemauan para pemimpin mereka, atau memang demikian yang di perintahkan oleh Ingkang Sinuhun di Mataram”

Wikan mengangguk-angguk kecil. Tetapi jika benar mereka mendapat perintah dari Kanjeng Sinuhun di Mataram, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit. Mereka akan banyak kehilangan tanah penyangga tegaknya padepokan mereka. Kecuali itu, maka jika hutan di sebelah itu juga akan menjadi hutan buruan, maka tentu akan lebih sulit mengendalikan Tatag.

Meskipun demikian, Ki Udayana telah mencegah Wikan untuk mengusir orang-orang yang berada di tanah mereka. Dengan tanpa menghiraukan pemiliknya, orang-orang itu nampaknya sibuk membicarakan gagasan-gagasan mereka tentang pemanfaatan tanah yang terbentang di hadapan mereka.

Ketika mereka berdua memasuki padepokan, maka Ki Udayana telah berpesan kepada Wikan, “Sebaiknya kau tidak keluar dari padepokan hari ini, Wikan. Jaga agar perasaanmu tidak berguncang melihat orang-orang yang agaknya merasa memiliki tanah kita itu. Kita harus menahan diri dan tidak berbuat dengan tergesa-gesa”

“Baik, paman” jawab Wikan.

“Beritahu para cantrik. Agaknya mereka belum tahu, bahwa di sekitar padepokan kita, ada beberapa orang yang sedang mengamati tanah kita. Jangan seorang pun yang mengambil langkah-langkah tanpa perintahku. Besok kita beri tahu pasti, apakah yang sebenarnya akan terjadi di kademangan ini”

“Baik, paman” jawab Wikan.

Sebenarnya seperti yang diperintahkan Ki Udayana, maka Wikan pun segera memberi tahu kepada para cantrik, apa yang tengah terjadi disekitar padepokan mereka.

“Jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri. Yang akan melakukan tugas masing-masing di sawah, lakukan seperti biasanya. Jika ada orang yang tidak dikenal bertanya tentang padepokan kita, jangan memberi keterangan apa-apa. Katakan pada mereka agar mereka menemui pemimpin padepokan ini, Ki Udayana”

Dengan demikian, maka padepokan Ki Udyana berusaha untuk tidak terlibat dalam perselisihan yang belum jelas dengan para petugas dari Mataram.

Sebenarnyalah di keesokan harinya, pada saat matahari terbit, Ki Udyana dan Wikan telah melarikan kuda mereka ke rumah Ki Demang. Sementara Ki Demang pun telah siap pula untuk segera pergi ke kademangan Kembangarum untuk menemui Ki Kriyadipraja yang bertugas di Kembangarum.

Ketika mereka sampai di Kembangarum, maka mereka pun langsung pergi ke rumah yang untuk sementara dipergunakan oleh Ki Rangga Kriyadipraja.

Ki Rangga Kriyadipraja yang kebetulan ada di rumah, segera mempersilahkan Ki Demang naik ke pendapa dan duduk di pringgitan, ditemui oleh Ki Rangga sendiri dengan seorang Lurah prajurit bawahannya.

“Selamat datang Ki Demang. Kedatangan Ki Demang agak mengejutkan aku. Bukankah keadaan Ki Demang baik-baik saja?”

“Baik, Ki Rangga. Keadaan kami baik-baik saja. Bagaimana dengan Ki Rangga sekeluarga”

“Kami juga baik-baik saja, Ki Demang“ Ki Rangga Kriyadipraja berhenti sejenak. Lalu ia pun kemudian bertanya. “Apakah ada keperluan penting sehingga Ki Demang pergi kemari?”

“Ada sedikit persoalan yang sedang kami hadapi, Ki Rangga”

Ki Demang pun kemudian telah memperkenalkan Ki Udyana, pemimpin padepokan yang berada di lingkungan kademangan-nya serta anaknya, Wikan.

“Sebenarnya aku juga ingin datang dan berbicara dengan Ki Udyana” berkata Ki Rangga Kriyadipraja, “Tetapi aku masih belum dapat menyempatkan diri. Sekarang, Ki Udyana lah yang justru telah datang kemari”

“Kami akan sangat berterima kasih jika Ki Rangga bersedia datang ke pondok kami yang sangat sederhana itu” berkata Ki Udyana.

“Ki Rangga” berkata Ki Demang kemudian, “Ada beberapa persoalan yang ingin kami sampaikan kepada Ki Rangga Kriyadipraja tentang rencana pembuatan pesanggrahan itu.

“Persoalan apa, Ki Demang, bukankah segala sesuatunya sudah jelas?”

“Sekarang justru menjadi sangat gelap. Apakah ada perintah baru tentang pembuatan pesanggrahan itu?”

“Tidak. Tidak ada perintah baru yang sampai kepadaku dari Ki Tumenggung Yudapangarsa. Ada apa sebenarnya Ki Demang?”

“Untuk jelasnya, biarlah Ki Udyana inilah yang menceritera-kan tentang persoalan baru yang timbul di kademanganku. Ki Rangga” berkata Ki Demang kemudian.

Ki Rangga Kriyadipraja itu pun mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia pun berkata, “Katakan Ki Udyana”

Ki Udyana pun kemudian menceriterakan, kedatangan seorang yang menamakan dirinya Ki Panji Suranegara. Seorang yang mengaku mendapat kuasa untuk melaksanakan perintah pembuatan pesanggrahan itu. Bahkan Ki Panji Suranegara itu mengatakan kepadanya bahwa tanah yang disediakan oleh Ki Demang itu sama sekali tidak memadai. Karena itu, maka Ki Panji pun mendapat kuasa untuk mencari tempat terbaik bagi Pasanggrahan yang akan dibangun itu.

“Jadi yang datang kepada Ki Udyana itu mengaku bernama Ki Panji Suranegara?”

“Ya”

Ki Rangga Kriyadipraja itu menarik nafas panjang. Katanya, “Jadi Ki Panji Suranegara benar-benar berusaha mengganggu pembangunan itu”

“Jadi memang ada usaha untuk mengganggu pembangunan pasanggrahan itu, Ki Rangga”

“Sebenarnya bukan mengganggu pembuatan pasanggrahan itu sendiri”

“Jadi?”

Ki Rangga Suranegara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Sebenarnya persoalannya adalah rahasia yang dapat menyinggung nama baik para pejabat di Mataram. Tetapi aku yang menghadapi langsung permasalahannya, terpaksa membuka rahasia ini agar segala pihak menjadi jelas”

Ki Demang, Udyana dan Wikan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

“Di Mataram telah terjadi semacam persaingan diantara beberapa orang Tumenggung yang menginginkan menerima tugas pembuatan pasanggrahan itu. Meskipun pasanggrahan yang ada dibuat itu termasuk pasanggrahan yang kecil dibanding dengan pasanggrahan-pasanggrahan lain. Mungkin kalian sudah tahu, kenapa persaingan itu telah terjadi. Untuk membuat pasanggrahan, Mataram tentu akan menyediakan beaya secukupnya. Antara lain beaya untuk keperluan-keperluan kelengkapannya yang kadang-kadang justru di luar pengamatan, yang tertib” Ki Rangga berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Sebenarnya Ki Tumenggung Yudapangarsa itu tidak mempunyai keinginan untuk melaksanakan pembangunan itu. Ia adalah seorang senapati perang. Namun karena Ki Tumenggung itu seorang yang jujur dan baik hati, maka Kangjeng Sinuhun justru mempercayakan pembangunan itu ditangan-nya. Ki Tumenggung mula-mula memang agak berkeberatan.

Tetapi akhirnya Ki Tumenggung itu terpaksa menerima. Sebenarnya Ki Tumenggung sendiri sudah mempunyai pengalaman yang cukup, karena Ki Tumenggung pulalah yang merencanakan dan kemudian melaksanakan pembangunan beberapa barak prajurit, terutama barak yang sekarang dipergunakan oleh pasukannya. Baraknya termasuk barak yang terbaik di Mataram. Baik dipandang dari segi ujudnya mau pun dari segi penggunaannya sebagai barak prajurit”

Ki Demang, Ki Udyana dan Wikan pun mengangguk-angguk.

“Namun agaknya ada beberapa orang Tumenggung yang sakit hati. Karena itu, maka mereka pun telah membuat rencana mereka sendiri. Orang itu antara lain adalah Ki Tumenggung Singaprana. Tumenggung Singaprana itu pun kemudian telah membuat pesan kepada Ki Tumenggung Yudapangarsa, bahwa Ki Tumenggung akan membuat kegiatan sendiri disekitar pasanggrahan. Ki Tumenggung berjanji tidak akan mengganggu pembuatan pesanggrahan itu, tetapi ia minta agar Ki Tumenggung Yudapangarsa juga tidak mengganggu kerja yang akan dilaksanakan oleh Ki Tumenggung Singaprana. Agaknya Ki Panji Suranegara itu bekerja bagi kepentingan Ki Tumenggung Singaprana”

“Apakah Ki Tumenggung Singaprana juga akan membuat pesanggrahan?”

“Tentu tidak” Ki Rangga Kriyadipraja itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ki Tumenggung Singaprana sedang berusaha memiliki tanah yang luas di dekat pasanggrahan itu. Jika ia berhasil, maka tanah itu akan dijual kepada para pejabat tinggi di Mataram. Tentu mereka ingin membangun rumah yang akan mereka pergunakan sebagai pasanggrahan pula di dekat pasanggrahan Ingkang Sinuhun. Dengan demikian, maka harga tanah di sekitar pasanggrahan itu akan melonjak dan menjadi mahal”

“Tanah itu akan diambilnya begitu saja dari rakyat di padukuhan-padukuhan dengan alasan untuk dibuat pesanggrah-an” sahut Ki Udyana, “Ki Panji Suranegara itu juga akan mengambil tanah padepokan kami begitu saja”

Ki Rangga Kriyadipraja itu menarik nafas panjang. Katanya, “Ternyata mereka itu jauh lebih serakah dari yang aku duga.

“Jadi bagaimana menurut pendapat Ki Rangga? Esok atau lusa orang-orang itu tentu akan kembali lagi. Mereka mulai mengukur-ukur tanah di padukuhan-padukuhan kami dan bahkan tanah penjagaan padepokan Ki Udyana” berkata Ki Demang.

“Temui mereka. Katakan pembicaraan yang telah kalian buat dengan aku atas nama Ki Tumenggung Yudapangarsa. Jika nama Ki Tumenggung Yudapangarsa tidak mereka hiraukan, laporkan kepadaku. Sementara itu, kalian dapat mempertahankan tanah kalian agar tidak jatuh ke tangan mereka. Kecuali jika mereka membeli dengan harga yang pantas yang memang kalian setujui. Maksudku, hubungan antara kalian dengan mereka adalah hubungan yang saling menguntungkan” Ki Demang, Ki Udyana dan Wikan pun menjadi jelas duduk persoalannya. Ternyata ada orang yang ingin memanfaatkan pembangunan pasanggrahan itu bagi kepentingan diri sendiri. Karena mereka tidak dapat merebut pelaksanaan tugas pembangunan, maka mereka pun mencari bidikan lain disekitar pembangunan pasanggrahan itu.

“Ki Rangga Kriyadipraja” berkata Ki Udyana kemudian, “besok atau lusa, orang-orang Ki Panji Suranegara itu tentu akan datang kembali. Jadi menurut Ki Rangga, sebaiknya kami mempertahankan tanah kami”

“Ya”

“Jika terjadi benturan kekerasan apakah kami tidak dipersalahkan bahwa kami berani melawan petugas.?”

“Bukankah mereka tidak membawa pertanda apa pun yang dapat meyakinkan kalian bahwa mereka datang dalam tugas mereka sebagai prajurit Mataram? Aku pun memperhitungkan bahwa mereka tidak akan berani mempergunakan kekuatan prajurit untuk kepentingan pemilihan tanah itu. Mungkin mereka bekerja-sama dengan beberapa orang pemimpin kelompok prajurit, tetapi tentu tidak atas nama Mataram, sehingga mereka tidak dapat disebut sebagai petugas. Bukankah yang mereka lakukan itu semata-mata untuk kepentingan mereka sendiri”

Ki Demang, Ki Udyana dan Wikan mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Rangga Kriyadipraja pun berkata kepada Lurah prajurit yang menyertainya menerima Ki Demang itu, “Hubungi Ki Lurah Wanasaba. Katakan apa yang kau dengar dari Ki Demang dan Ki Udyana. Aku minta Ki Lurah Wanasaba melihat langsung ke lapangan”

“Baik Ki Rangga” jawab Ki Lurah. Demikianlah, maka Ki Demang, Ki Udyana dan Wikan pun segera minta diri. Dengan demikian, maka mereka pun tahu pasti, apa yang sedang terjadi di kademangan mereka termasuk di padepokan Ki Udyana.

Hari itu juga Ki Demang telah mengumpulkan semua Bekel padukuhan-padukuhan di lingkungannya.

Dengan jelas Ki Demang memberitahukan kepada para Bekel tentang pertemuannya dengan Ki Rangga Kriyadipraja.

“Aku percaya kepada Ki Rangga Kriyadipraja berkata Ki Demang“ karena Ki Rangga Kriyadipraja dapat menunjukkan bukti-bukti penugasan yang diembannya. Ki Rangga dapat menunjukkan Surat Kekancingan serta kelengkapan tugas yang lain”

Para Bekel itu pun mengangguk-angguk. Dihari-hari terakhir memang sering terlihat beberapa orang mondar-mandir di padukuhan mereka. Orang-orang yang memperhatikan sawah dan ladang yang ada di padukuhan-padukuhan itu. Jalan-jalan yang membujur panjang di bulak-bulak yang luas serta parit-parit yang mengalirkan air yang jernih.

Namun keterangan Ki Demang itu menjadi jelas. Mereka adalah orang-orang yang sedang berburu mangsa. Mereka adalah orang-orang yang merasa kuat, yang sedang merunduk orang-orang yang lemah dan tidak berdaya. Bahkan orang-orang yang bodoh.

Karena itu, maka Ki Demang pun berpesan kepada para Bekel, agar mereka berusaha melindungi rakyat mereka dari kemung-kinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang yang pada hari-hari terakhir berkeliaran diantara mereka.

Ketika para Bekel itu pulang dari rumah Ki Demang, maka mereka pun telah bertekad untuk menentang para pendatang yang mengaku petugas dari Mataram untuk mengambil tanah mereka, sementara Ki Demang sudah menyediakan tanah milik kademangan untuk membuat pasanggrahan.

Dalam pada itu, ketika Ki Udyana dan Wikan sampai di padepokannya, maka mereka pun segera memanggil para cantrik yang dituakan yang telah diberi wewenang untuk bersama-sama Ki Udyana dan Nyi Udyana memimpin padepokan itu.

“Kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kita tidak akan melepaskan hak kita kepada orang yang mencari keuntungan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan diri sendiri. Kita sekarang sudah tahu pasti, siapakah yang seharusnya bertugas menangani pelaksanaan pembangunan pasanggrahan itu. Tetapi ada orang lain yang menjadi iri dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari pembangunan itu dengan cara-cara yang tidak sewajarnya”

“Jadi artinya kita akan dapat bertahan, paman?”“

“Ya”

“Jika mereka memaksa?”

“Kita harus mencegahnya”

“Jika mereka mengerahkan para prajuritnya”

“Kita akan tetap mempertahankannya. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Ki Rangga Kriyadipraja, mereka tidak akan dapat mengerahkan banyak prajurit, karena apa yang mereka lakukan adalah tindakan yang salah, sehingga para pemimpin pasukan akan berpikir sepuluh kali untuk dapat menerima kerja sama dengan mereka. Mungkin sekelompok prajurit akan bersedia bekerja sama. Tetapi tentu hanya sekedar untuk menakut-nakuti rakyat yang bodoh. Jika benar-benar terjadi benturan, mereka tidak akan bersungguh-sungguh, karena jika mereka bersungguh-sungguh pada suatu saat mereka akan ditangkap dan diadili. Mereka akan mendapat hukuman yang sangat berat. Mereka yang seharusnya melindungi rakyat, justru berbuat sebaliknya”

Dengan demikian, maka perintah itu pun menjadi sangat jelas bagi para cantrik di padepokan Ki Udyana. Namun Ki Udyana itu masih berpesan, “Tetapi kalian jangan bertindak sendiri-sendiri. Semua yang akan kalian lakukan harus kami ketahui, sehingga apa yang kita lakukan dalam suatu kesatuan tidak menjadi simpang siur. Dengan demikian, maka langkah-langkah kita adalah langkah-langkah yang utuh”

Dengan pesan-pesan yang diberikan oleh Ki Udyana, maka para cantrik pun telah siap untuk melaksanakan tugas mereka.

Di padukuhan-padukuhan, para Bekel pun segera berbicara dengan para bebahu serta beberapa orang yang dituakan di padukuhan agar mereka dapat menjalankan sikap yang sama.

Tetapi berbeda dengan beberapa padukuhan yang lain. Ki Bekel Kasinungan ternyata mempunyai sikap yang lain. Ketika ia pulang dari rumah Ki Demang, maka Ki Panji Suranegara telah berada di rumahnya.

“Apa kata Ki Demang” bertanya Ki Panji Suranegara.

Ki Bekel pun kemudian telah menceriterakan, bahwa Ki Demang telah bertemu dengan Ki Rangga Kriyadipraja yang melaksanakan tugas pembuatan pasanggrahan atas nama ki Tumenggung Yudapangarsa yang mendapat perintah langsung dari Kangjeng Sinuhun di Mataram.

“Apa kata Ki Rangga Kriyadipraja?”

“Ki Rangga Kriyadipraja membenarkan, bahwa rakyat berhak mempertahankan tanahnya”

Ki Panji Suranegara itu menggeram. Katanya, “Kenapa Ki Rangga masih saja menghalangi kegiatan kami. Padahal kami tidak mengganggu kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Ki Rangga Kriyadipraja berdasarkan atas tugas dari Ki Tumenggung Yudapangarsa”

“Tetapi bukankah wajar Ki Panji, bahwa rakyat akan merasa sangat dirugikan jika Ki Panji mengambil tanah itu begitu saja. Sementara nanti Ki Panji dan Ki Tumenggung Singaprana akan menjual tanah ini dengan harga yang sangat mahal”

“Jika bagaimana menurut pendapatmu?”

“Ki Tumenggung Singaprana harus mau meletakkan modal di atas tanah disini. Ki Tumenggung harus bersedia membelinya. Bukankah kelak Ki Tumenggung akan mendapat keuntungan yang berlipat. Jika Ki Tumenggung bersedia membeli, maka tidak akan ada orang yang dapat mencegahnya. Yang terjadi adalah jual beli yang sah. Meskipun mungkin harganya dapat diatur kemudian. Aku akan bersedia membantu Ki Panji untuk menemukan orang yang bersedia menjual tanahnya.

Ki Panji Suranegara itu pun termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang wajah Ki Bekel sekilas, maka ia melihat ki Bekel itu tersenyum.

“Licik bekel ini” berkata Ki Panji di dalam hatinya, tetapi ia pun tidak dapat ingkar, bahwa yang dilakukan itu pun bertentangan dengan tatanan dan paugeran. Apalagi jika Ki Panji itu ingin begitu saja mengambil tanah milik rakyat tanpa dibeli sama sekali meskipun dengan harga yang sangat murah.

“Aku akan memikirkannya, Ki Bekel” berkata Ki Panji Suranegara, “besok aku akan kembali ke Kasinungan”

“Baik, Ki Panji. Aku akan menunggu. Tetapi sebaiknya Ki Panji mengambil keputusan dengan cepat. Jika ada orang lain yang datang dengan maksud yang sama. maka Ki Panji adalah orang yang lebih dahulu membelinya”

“Apakah ada orang lain yang akan melakukannya pula?”

“Bukankah Ki Yudapangarsa itu mempunyai banyak saingan. Jadi aku kira bukan saja Ki Tumenggung Singaprana yang akan mengambil keuntungan dengan pembangunan pasanggrahan itu”

“Tetapi bagaimana pendapat Ki Bekel tentang tanah yang sekarang digarap oleh para cantrik di padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu?”

“Tanah itu bukan milik padepokan. Karena itu. jika Ki Panji akan mengambil tanah itu, aku kira tidak akan ada kesulitannya”

“Tetapi jika orang-orang padepokan itu mempertahankan-nya?”

“Apakah mereka berani melakukannya? Jika Ki Panji datang sambil menyebut kebesaran Sinuhun di Mataram, maka para pemimpin di padepokan itu tentu akan tidak berani menentang-nya”

“Tidak, Ki Bekel. Mereka berani menanyakan bukit penugasan kami. Mereka justru sudah mengetahui persoalan yang sebenarnya tentang pesanggrahan itu. Mereka sudah tahu, bahwa Ki Demang sudah menyediakan tanah yang cukup.

“Ki Panji memang harus sedikit memaksa untuk mengambil tanah mereka”

“Apakah Ki Tumenggung Singaprana juga harus membeli tanah yang diaku milik padepokan itu?”“

“Tidak perlu, Ki Panji. Tanah itu bukan milik mereka. Mereka hanya diijinkan untuk mempergunakannya. Tidak memiliki. Jika yang dapat dipergunakannya itu diperlukan oleh Kangjeng Sinuhun, maka tanah itu harus diserahkan”

“Kami tidak mempunyai bukti penugasan itu. Bukankah sudah aku katakan, bahwa mereka berani mempertanyakannya”

“Tunjukkan bahwa Ki Panji punya kekuatan untuk memaksakan pelaksanaan tugas Ki Panji”

“Mereka juga punya kekuatan. Bukankah di padepokan itu terdapat sekelompok cantrik yang sudah terlatih dalam olah kanuragan?”

“Tetapi aku yakin, bahwa mereka tidak akan berani melawan prajurit Mataram”

Ki Panji Wiranegara itu pun termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Aku harus menggertak orang-orang padepokan itu”

Demikianlah, maka dikeesokan harinya, Ki Panji Suranegara benar-benar telah berada di dekat padepokan Ki Udyana bersama sekelompok prajurit. Mereka telah membawa patok-patok bambu serta tali-tali tampar untuk dipasang sebagai pembatas tanah yang akan diambil oleh Mataram.

Dua orang cantrik yang sedang berada di sawah pun kemudian telah mendekati para prajurit yang sedang mengukur-ukur tanah yang akan mereka ambil itu.

“Ki Sanak” berkata salah seorang cantrik itu, “Apa yang kalian lakukan di tanah milik kami ini?”

“Mana tanah yang kau katakan milikmu itu?”

“Tanah ini. Yang kalian ukur-ukur itu”

“Jangan membual. Tanah ini milik Kangjeng Sinuhun di Mataram. Tanah ini akan diambilnya kembali”

“Bohong. Kalian bukan petugas dari Mataram. Kalian hanya mengaku saja sebagai petugas di Mataram dalam hubungannya pembuatan pasanggrahan itu”

“Siapa yang mengatakannya?”

“Ki Demang. Ki Demang telah menghadap Ki Rangga Kriyadipraja di Kembangarum”

“Omong kosong. Laksanakan perintahku. Kosongkan tanah yang besok akan diberi gawar tampar serabut kelapa”

“Jangan memaksa Ki Sanak. Sebaiknya kalian pergi saja dari tanah kami”

“Diam. Kami dapat menangkapmu karena kalian berani menentang perintah Kangjeng Sinuhun di Mataram”

“Perintah itulah yang omong kosong. Tidak ada perintah. Jika ada perintah, maka perintah itu akan diberikan tertulis kepada kalian berdua”

“Cukup. Apakah aku harus menangkapmu”

“Kami disini bukan anak yatim piatu, Ki Sanak. Aku mempunyai ayah dan ibu di padepokan. Ki Udyana dan Nyi Udyana. Aku akan menyampaikan persoalan ini kepada mereka”

“Baik. Pergilah. Katakan kepada para pemimpinmu yang kau sebut ayah dan ibumu itu. Jika mereka tetap menentang perintah Kangjeng Sinuhun, maka bukan saja mereka akan ditangkap, tetapi padepokan kalian itu akan ditutup. Para pemimpinnya akan ditahan dan kemudian diadili sebagai kawula yang berani menentang Gustinya”

“Baik. Aku akan menyampaikannya kepada pimpinan padepokanku. Jangan kau kira bahwa kau dapat .menggertak kami dengan menyebut nama Kangjeng Sinuhun”

“Persetan. Pergi atau aku akan menutup wajah kalian dengan lumpur”

Kedua orang cantrik itu pun dengan tergesa-gesa kembali ke padepokan. Dengan tergesa-gesa pula ia mencari Ki Udyana untuk melaporkan apa yang telah terjadi di sawah garapan para cantrik itu”

“Jadi mereka benar-benar mencoba untuk mengganggu kita?” bertanya Ki Udyana.

“Biarlah aku yang pergi menemui mereka paman” berkata Wikan.

Ki Udyana memang agak ragu. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Pergilah. Tetapi hati-hati. Jaga kata-katamu. Bagaimanapun juga mereka benar-benar pejabat di Mataram. Tetapi mereka telah menyimpang dari tugas yang seharusnya mereka lakukan”

“Baik paman. Aku akan tetap menyadari dengan siapa aku berhadapan”

Wikan pun kemudian bersama kedua orang cantrik yang melihat beberapa orang prajurit sedang mengukur serta memasang patok dan tali di sawah, pergi untuk menemui mereka.

Dengan langkah-langkah panjang, Wikan pun berjalan menyusuri pematang menemui pemimpin dari. para prajurit yang sedang memasang patok-patok di sawah yang digarap oleh para cantrik dari padepokan Ki Udyana itu.

Yang menemui Wikan adalah Ki Panji Suranegara sendiri. Dengan pendek Ki Panji itu pun bertanya, “Kaukah sekarang pemimpin padepokan itu?”

“Bukan” jawab Wikan, “pemimpin padepokan itu adalah pamanku”

“Kenapa pamanmu tidak datang sendiri kemari?”

“Paman baru sibuk. Karena itu, maka paman telah minta aku datang untuk menemui Ki Panji”

“Untuk apa pamanmu minta kau menemui aku sekarang disini?”

“Ki Panji. Aku minta Ki Panji membatalkan niat Ki Panji untuk mengambil tanah kami”

“Apa? Kau berani minta aku membatalkan perintah Kangjeng Sinuhun?”

“Tidak usah berbicara tentang Kangjeng Sinuhun. Ki Rangga Kriyadipraja sudah menceriterakan rancangan pembuatan pesanggrahan itu sampai kebagian-bagian terkecil. Sementara itu Ki Rangga dapat menunjukkan pertanda bahwa Ki Rangga memang petugas yang berwenang dengan Surat Kekancingan langsung dari Kangjeng Sinuhun di Mataram. Sementara itu, Ki Panji tidak dapat menunjukkannya”

“Kau telah menyinggung perasaanku. Kata-katamu itu menunjukkan bahwa kau tidak mempercayai aku. Bahwa kau tidak mempercayai seorang pejabat di istana Kangjeng Sinuhun di Mataram. Lihat pakaianku, lihat timang pertanda keprajuritan ini. Apakah kau masih ragu?”

“Tidak. Aku tidak ragu bahwa Ki Panji adalah seorang pejabat di Mataram”

“Jadi kenapa kau mencurigai aku?”

“Seorang pejabat mungkin saja melakukan kesalahan. Disengaja atau tidak disengaja. Sedangkan yang Ki Panji lakukan akan sangat merugikan padepokan kami. Karena itu, kami minta Ki Panji mempertimbangkan kembali langkah-langkah yang Ki Panji ambil hari ini”

“Kau tidak berhak memerintah aku. Yang berhak menghenti-kan langkah-langkahku sekarang ini hanyalah Kangjeng Sinuhun sendiri”.

“Ki Panji justru telah menodai nama Kangjeng Sinuhun di Mataram”

“Persetan kau” bentak Ki Panji, “pergi. Atau aku akan memaksamu pergi”

“Ki Panji. Aku ingin memperingatkan Ki Panji sekali lagi. Urungkan langkah-langkah yang Ki Panji ambil”

“Tutup mulutmu” bentak Ki Panji hampir berteriak, “aku akan melanjutkan tugasku hari ini. Kau mau apa?”

“Ki Panji. Aku akan memperingatkan Ki Panji. Jika Ki Panji tidak mau menghentikan langkah-langkah yang Ki Panji ambil hari ini, maka nanti saat matahari turun menjelang senja, kami akan mencabuti patok-patok serta tali-tali yang Ki Panji pasang. Aku minta Ki Panji mendengarkan peringatkan kami”

“Jika itu kau lakukan, maka padepokanmu akan dihancurkan karena kalian telah memberontak”

“Ki Panji lah yang telah mencemarkan nama baik Kangjeng Sinuhun di Mataram. Ki Panji lah yang pantas dihukum karena Ki Panji telah mencari keuntungan bagi diri sendiri atau bagi sekelompok orang tanpa menghiraukan jalur tatanan dan paugeran”

“Diam. Atau aku akan menyumbat mulutmu dengan rumput kering. Pergi sebelum aku kehabisan kesabaran”

“Kalau aku sekarang diam, bukan berarti bahwa aku mencabut ancamanku. Nanti sore, menjelang senja, kami akan mencabuti semua patok-patok yang Ki Panji pasang”

“Kami tidak akan meninggalkan tempat ini. Sekelompok prajurit akan mengusir setiap orang yang akan mengganggu tugasku. Kami berhak untuk melakukan kekerasan terhadap mereka yang menentang petugas yang sedang menjalankan tugas mereka. Apalagi tugas yang langsung diberikan oleh Kangjeng Sinuhun”

“Sudah aku katakan, Ki Panji tidak usah menyebut Kangjeng Sinuhun, karena apa yang Ki Panji lakukan, sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kangjeng Sinuhun”

“Persetan kau. Cepat pergi sebelum aku mengambil keputusan lain”

“Baik. Aku akan pergi sekarang”

Namun sambil melangkah pergi Wikan berkata, “Tetapi ingat, Ki Panji. Aku sama sekali tidak mengakui bahwa Ki Panji adalah seorang pejabat yang mendapat perintah dari Kangjeng Sinuhun di Mataram”

Ki Panji tidak menjawab. Dipandanginya Wikan yang melangkah menyusuri pematang, ketika ia berpapasan dengan seorang yang membawa pancing dan kepis yang tergantung di pinggangnya, Wikan sempat turun ke sawah untuk memberi jalan kepada pemancing itu lewat.

Ketika Wikan sampai di padepokan, maka ia pun segera memberikan laporan kepada Ki Udyana, apa yang telah terjadi di sawah yang telah dipasang patok oleh Ki Panji Suranegara.

“Bagus Wikan. Ternyata kau sudah dapat mengendalikan perasaanmu dengan baik. Kau tidak lagi hanyut dalam arus perasaanmu itu”

“Aku berusaha menahan diri, paman. Tetapi rasa-rasanya jantungku akan pecah”

“Wikan. Nanti sore, menjelang senja, kita akan benar-benar melakukannya. Kita tahu, bahwa ada sekelompok prajurit yang akan berusaha mempertahankan patok-patok itu. Tetapi kita tidak akan surut. Jika mereka mempergunakan kekerasan, maka kita pun akan melayaninya. Tetapi ingat, bahwa apa yang kita lakukan tidak boleh berlebihan”

“Ya, paman”

“Seperti yang sudah aku katakan, kita masih tetap menghormati, bahwa mereka adalah pejabat dan prajurit Mataram. Tetapi kita pun jangan menjadi ragu-ragu. Yang kita lakukan itu sudah diketahui oleh Ki Rangga Kriyadipraja yang justru mendapat tugas langsung untuk membangun pesanggrahan itu”

Demikianlah, maka para cantrik di padepokan Ki Udyana itu pun segera mempersiapkan diri. Bersama Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan, adalah mereka yang telah mendapat wewenang ikut membantu memimpin padepokan itu serta para cantrik yang sudah memiliki landasan cukup, dalam olah kanuragan. Mungkin akan terjadi benturan kekerasan diantara mereka dengan para prajurit. Bahkan mungkin benturan yang agak keras.

Menjelang sore hari, dua orang cantrik telah turun ke sawah untuk mengamati suasana. Dari kejauhan mereka melihat, bahwa para prajurit itu benar-benar telah memasang patok memanjang sampai ke padang perdu. Tali-tali tampar sabut kelapa terbentang memanjang melintasi pematang-pematang sawah.

“Mereka benar-benar melakukannya, kakang” berkata salah seorang cantrik itu kepada Ki Udyana.

“Kita pun akan benar-benar mencabutinya” sahut Ki Udyana

Ki Udyana pun segera memerintahkan para cantrik untuk bersiap-siap.

“Hati-hati dengan anakmu” pesan Wikan kepada Tanjung, “Jangan biarkan anak itu keluar dari padepokan. Mungkin akan terjadi benturan kekerasan di bulak”

“Baik, kakang”

“Minta beberapa orang cantrik yang tidak ikut pergi bersama kami untuk ikut mengawasinya”

“Apakah bibi juga akan pergi?”

“Ya”

“Sebenarnya aku juga ingin pergi melihat apa yang akan terjadi”

“Jangan percayakan Tatag kepada orang lain. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Tatag pun harus mengenakan bajunya agar dadanya tertutup karenanya”

“Ada apa sebenarnya, kakang? Apa hubungannya dengan para prajurit itu dengan Tatag?”

“Tidak ada. Tetapi aku cemas bahwa ada orang yang melihat noda hitam di dada anak itu. Mungkin akan hanya terlalu cemas saja tanpa alasan. Tetapi rasa-rasanya aku tidak ingin ada orang yang melihat bahwa di dada Tatag ada noda hitam itu”

Tanjung mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa ia -harus benar-benar menjaga Tatag. Jika ia terlepas, maka mungkin sekali Tatag akan berlari ke tempat ayahnya menemui para prajurit itu. Namun timbul pula pertanyaan di hatinya, “Apakah ada diantara prajurit itu yang pernah menaruh Tatag di depan pintu rumahnya? Tentu tidak. Rumahnya terletak di tempat yang jauh dari Mataram”

Tetapi sepanjang-panjang jalan masih panjang tenggorokan. Ceritera tentang seorang anak yang didadanya ada noda hitamnya itu memang akan dapat sampai kemana-mana jika ada orang lain yang melihatnya. Apalagi Tatag adalah anak yang memang dapat menarik perhatian. Kelebihannya di umurnya yang masih sangat muda itu, serta hubungannya yang sangat akrab dengan binatang. Bahkan ada yang menganggap bahwa Tatag dapat berbicara dengan binatang, akan dapat membuat sebuah dongeng panjang tentang anak yang didadanya terdapat noda hitam.

Demikianlah, maka di ujung hari, menjelang senja, Ki Udyana, Nyi Udyana, Wikan dan beberapa orang cantrik tertua telah pergi ke sawah. Mereka sudah siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Bahkan seandainya harus terjadi benturan kekerasan.

Ketika mereka sampai di sawah pada saat langit telah menjadi redup, ternyata Ki Panji Suranegara masih berada di sawah bersama sekelompok prajurit. Mereka masih meneruskan kerja mereka, memasang patok-patok bambu sampai jauh ke bulak sawah milik rakyat padukuhan sebelah.

“Apakah kita akan menemui mereka?” bertanya Wikan.

“Tidak usah” berkata Ki Udyana, “Kita mulai dari ujung. Dari sawah milik padepokan. Kita akan mencabut patok-patok serta tali-tali yang direntangkan dari patok yang satu ke patok yang lain”

Wikan mengangguk. Ia pun kemudian membawa para cantrik ke sawah milik padepokan mereka.

Ki Panji Suranegara semula tidak yakin, bahwa isi padepokan itu benar-benar akan melakukan sebagaimana dikatakan oleh Wikan. Tetapi ketika Ki Panji itu melihat para cantrik berjalan menyusuri pematang beriringan ke sawah mereka, ia pun menjadi berdebar-debar.

“Apa yang akan mereka lakukan?” bertanya Ki Panji Suranegara kepada seorang Lurah prajurit yang menyertainya.

“Ki Panji. Agaknya mereka benar-benar akan mencabuti patok-patok yang sudah kita pasang”

“Jadi mereka benar-benar berani melawan kita?”

“Nampaknya Ki Rangga Kriyadipraja berdiri di belakang mereka, sehingga mereka berani melakukannya”

“Kita harus menunjukkan kepada mereka, bahwa kita pun tidak sekedar bermain-main. Cegah mereka”

“Jika mereka memaksa?”

“Cegah dengan kekerasan. Bukankah kalian prajurit?”

“Tetapi tugas ini bukan tugas kita sebagai prajurit”

“Dengar Ki Lurah, dengar. Bukankah kau menginginkan sekampil uang emas kelak. Uang itu akan kau dapatkan jika kau benar-benar bekerja sama dengan jujur membantu usaha kami. Kau tentu tahu, apa yang akan kita dapatkan kelak. Sementara itu prajurit-prajuritmu tentu tidak akan berkeberatan pula jika mereka tahu, bahwa mereka pun akan mendapat bagiannya”

Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun telinganya seakan-akan mendengar gemerincing keping uang emas sekampil. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan mencegah mereka”

Ki Lurah itu pun kemudian telah membawa prajurit-prajurit-nya menyongsong para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu.

Ki Udyana lah yang kemudian menemui Ki Lurah itu. Dengan nada datar Ki Udyana pun berkata, “Ki Lurah. Aku datang untuk melaksanakan niat kami sebagaimana dikatakan oleh kemanakanku tadi siang. Kami akan mencabuti patok-patok yang kalian pasang di sawah-sawah kami”

“Kalian jangan kehilangan akal seperti itu. Kalian tahu, bahwa kami adalah petugas dari Mataram untuk mengamankan rencana Kangjeng Sinuhun yang akan membangun pasanggrahan di daerah ini. Karena itu, seharusnya justru kalian membantu kami agar pelaksanaan tugas ini dapat berjalan lancar. Bukan sebaliknya kalian justru menghalangi tugas-tugas kami”

“Aku dapat berbicara lain, Ki Lurah. Seharusnya para prajurit Mataram itu melindungi rakyatnya yang mengalami tekanan dari kuasa yang tidak semestinya. Seharusnya prajurit Mataram itu mencegah terjadinya penyalah-gunaan kekuasaan. Tetapi yang terjadi justru lain”

“Ki Sanak. Apa pun yang kau katakan, aku minta kau pergi. Kami, para prajurit Mataram sudah siap menjalankan tugas kami”

“Ki Lurah, anak-anak kami pun sudah siap untuk mempertahankan haknya. Karena itu, sebaiknya Ki Lurah membawa para prajurit itu pergi”

Ki Lurah itu pun menjadi tidak sabar lagi. Ia pun kemudian berkata lantang, “Usir mereka dari sini”

“Jadi Ki Lurah akan mempergunakan kekerasan?”

“Apaboleh buat”

Ki Udyana pun kemudian telah memberi isyarat pula kepada para cantriknya untuk bertahan. Katanya, “Jangan mau pergi. Bertahanlah. Aku, Nyi Udyana dan Wikan akan mencabuti patok-patok bambu itu”

Ketika para prajurit itu bergerak, maka para cantrik pun segera menyerang mereka. Sementara Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan sibuk mencabuti patok-patok bambu yang sudah dipasang. Mereka pun telah melepas tali-tali tampar serta menghapus garis-garis yang telah dibuat oleh Ki Panji Suranegara serta para prajuritnya.

Pertempuran pun segera terjadi di sawah yang sudah ditanami. Mereka telah menginjak-injak tanaman yang sedang tumbuh segar di kotak-kotak sawah. Namun bagi para cantrik, mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun tanaman mereka rusak, namun mereka harus dapat mempertahankan tanah milik mereka.

Ki Udyana, Nyi Udyana, Wikan dan dua orang cantrik yang tidak terlibat dalam pertempuran masih saja sibuk mencabuti patok-patok yang sudah ditanam sesuai dengan ukuran-ukuran yang telah ditentukan. Namun kerja Ki Panji Suranegara sehari itu pun menjadi sia-sia, karena patok-patoknya segera berserakan. Ternyata mencabut patok-patok itu berlangsung jauh lebih cepat daripada memasangnya.

Bahkan Ki Udyana memang tidak perlu mencabut semua patok. Tetapi beberapa patok yang menjadi induk ukuran dari patok-patok yang lain, sehingga dengan demikian, maka patok-patok yang lain pun akan kehilangan dasar ukurannya.

Sementara itu, ternyata para prajurit Mataram itu tidak mampu mencegah Ki Udyana, Nyi Udyana, Wikan serta dua orang cantrik yang sedang mencabuti patok-patok itu. Ketika dua orang prajurit berusaha menghentikan Ki Udyana, maka kedua orang prajurit itu telah terlempar jatuh ke dalam lumpur.

“Gila” geram Ki Panji Suranegara, “pemimpin padepokan itu telah meremehkan kemampuan prajurit Mataram”

Perasaan Ki Panji benar-benar telah tersinggung. Selain para penghuni padepokan itu telah merusak hasil kerjanya, sehingga apa yang dilakukan sehari itu menjadi sia-sia, Ki Panji juga merasa para cantrik itu sudah merendahkan kemampuan para prajurit. Rasa-rasanya mereka dengan mudah telah mendesak para prajurit Mataram itu.

“Aku akan memberikan sedikit pelajaran bagi para cantrik yang sombong itu” berkata Ki Panji kepada dua orang prajurit pengawalnya, “Marilah. Aku sendiri akan melakukannya”

Kedua orang pengawalnya itu pun kemudian mengikut Ki Panji mendekati arena pertempuran. Ki Panji masih melihat, bahwa Ki Udyana sendiri masih belum turun ke gelanggang. Ia membiarkan cantrik-cantriknya saja yang menghadapi para prajurit. Bahkan cantrik-cantriknya itu pun telah membuat para prajurit menjadi kesulitan, sehingga tidak seorang prajurit pun yang sempat mencegah Ki Udyana mencabuti patok-patoknya.

Karena itu, maka Ki Panji itu segera mendekati Ki Udyana sambil berkata, “Kau sangat meremehkan prajurit Mataram, Ki Udyana“ Ki Panji Suranegara, itu pun berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “sebaiknya aku akan langsung menangkap pemimpin padepokan yang telah menghasut para cantriknya untuk melawan para petugas”

Ki Udyana menarik nafas panjang. Katanya, “Tidak ada yang pernah menghasut, Ki Panji. Seandainya dapat disebut menghasut, maka orang itu adalah Ki Rangga Kriyadipraja. Tetapi apa yang dikatakan oleh Ki Rangga bukan hasutan. Tetapi justru kebenaran. Karena itu Ki Panji. Aku mohon Ki Panji menarik prajurit-prajurit Ki Panji dari tanah kami”

“Kau akan menyesali kesombonganmu, Ki Udyana. Aku akan menangkapmu. Mengikat tanganmu dan menyeretmu ke Mataram. Sepanjang jalan kau akan menjadi pengewan-ewan”

“Sudah begitu jauhkah jalan sesat yang Ki Panji tempuh. Seandainya aku dapat kau tangkap dan kau bawa ke Mataram serta menjadi pengewan-ewan di sepanjang jalan, di Mataram aku akan Ki Panji serahkan kepada siapa? Kepada Ki Tumenggung Singaprana? Sementara itu, Ki Rangga Kriyadipraja akan bersaksi tentang tingkah laku Ki Panji Suranegara di daerah ini, yang menghimpun tanah sebanyak-banyaknya. Tidak untuk pesanggrahan tetapi kelak tanah ini akan dapat dijual dengan harga yang sangat tinggi. Para pemimpin di Mataram yang punya kuasa, serta para pedagang yang menimbun uang di bangsal-bangsal kehartaan mereka, akan bersedia membeli tanah dengan harga berapa pun juga untuk membangun pasanggrahan di dekat pasanggrahan Ingkang Sinuhun”

“Kau mengigau, Ki Udyana. Sekarang jangan melawan. Aku akan menangkapmu”

Namun sebelum Ki Udyana berbuat sesuatu, maka Wikan sudah berdiri di sebelah Ki Udyana sambil berkata, “Mungkin paman memang tidak akan melawan, Ki Panji. Tetapi aku tidak akan membiarkan paman ditangkap serta diikat tangannya. Aku akan melindungi paman”

Wajah Ki Panji Suranegara terasa menjadi panas. Dipandanginya laki-laki yang masih terhitung muda itu. Dengan geram Ki Panji itu pun berkata, “Kau mau apa orang muda? Kau kira kau sedang bermain gobag. Menjauhlah agar kau tidak mengalami nasib buruk”

“Bagaimana mungkin aku menjauh. Aku justru mendekat untuk mencegah agar Ki Panji tidak mengikat tangan pamanku”

“Anak iblis. Kau tahu siapa aku?”

“Ya. Ki Panji Suranegara”

“Aku adalah salah seorang Senapati di Mataram. Jika kau mencoba melawanku, maka itu akan dapat berarti sangat buruk bagimu. Sebenarnya kau masih terlalu muda untuk mengalami nasib seburuk itu”

“Maksud Ki Panji aku akan dapat terbunuh jika aku melawan? Jika memang harus terjadi, apaboleh buat. Dan jika membunuh adalah penyelesaian terbaik menurut Ki Panji, silahkan”

Jantung Ki Panji Suranegara terasa berdegup semakin keras. Ia memang menjadi ragu-ragu. Apakah ia benar-benar akan membunuh penghuni padepokan itu?

Sekilas ia melihat prajurit-prajuritnya yang sedang bertempur. Ternyata para prajuritnya itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Jika mereka tidak mempunyai kesempatan lagi, maka mungkin mereka pun akan menghentakkan kemampuan mereka sehingga akan ada cantrik yang terbunuh.

“Aku akan menundukkan para pemimpinnya. Yang lain pun tentu akan segera tunduk pula” berkata Ki Panji di hatinya.

Karena itu, maka Ki Panji itu pun berkata, “Aku tidak dapat mencegah niatku untuk mengikat Ki Udyana dan membawanya ke Mataram karena ia sudah berani melawan para petugas dari Mataram. Minggirlah. Jangan mencoba melawan, karena melawan akan dapat berarti bencana bagimu”

“Sudah aku katakan. Aku akan mencegah Ki Panji mengikat tangan paman”

Ki Panji itu pun menggeram. Segera Ki Panji mempersiapkan dirinya. Jawaban Wikan dirasanya semakin meremehkannya, justru ia adalah salah seorang Senapati di Mataram.

Karena itu, maka Ki Panji pun telah bertekad untuk memberi peringatan keras terhadap Wikan, sementara itu, ia benar-benar akan mengikat tangan Ki Udyana.

“Kalau dalam hitungan ketiga ku tidak mau minggir, maka aku akan menghancurkanmu”

Wikan tidak menganggap ancaman itu hanyalah ancaman yang kosong saja. Melihat tatapan mata Ki Panji Suranegara, maka ia benar-benar akan melakukannya.

Karena itu, maka Wikan pun sudah mempersiapkan diri untuk melawannya.

“Satu”

Wikan sama sekali tidak bergeser

“Dua”

Wikan masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Ki Panji benar-benar menjadi semakin marah.

“Tiga”

Karena Wikan masih tetap berdiri ditempatnya, maka Ki Panji Suranegara yang merasa diremehkan itu menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja Ki Panji itu telah meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah dada. Ki Panji berniat untuk menghentikan perlawanan Wikan dengan pukulan pertamanya.

Tetapi Ki Panji itu sempat terkejut. Ternyata tangannya yang dijulurkan dengan cepat sekali itu sama sekali tidak menyentuh tubuh lawannya.

Dengan demikian, maka Ki Panji itu pun segera menyadari, bahwa Wikan adalah seorang laki-laki muda yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ki Panji pun sering mendengar tentang para pemimpin padepokan yang berilmu tinggi. Namun Ki Panji adalah seorang Senapati dari Mataram. Senapati yang memiliki pengalaman yang luas serta landasan ilmu yang tinggi.

Ki Panji tidak mau dipermalukan oleh anak padepokan itu. Karena itu, maka Ki Panji pun segera meningkatkan ilmunya.

Dengan demikian maka pertarungan antara Ki Panji Suranegara dengan Wikan itu pun menjadi sengit. Ternyata keduanya memiliki landasan ilmu yang tinggi.

Wikan pun merasa harus berhati-hati menghadapi Ki Panji Suranegara. Wikan sadar, bahwa Senapati di Mataram tentu orang-orang yang terpilih di lingkungan keprajuritan. Senapati di Mataram tentu seorang prajurit yang mempunyai kelebihan dari sesamanya.

Dengan demikian, maka pertarungan diantara keduanya menjadi pertarungan yang rumit. Masing-masing mempunyai bekal yang memadai, sehingga keduanya pun saling mendesak dan saling bertahan.

Sementara itu, langit pun menjadi semakin gelap. Senja telah memasuki malam. Warna-warna merah di langit pun telah menjadi pudar. Sisa-sisa warna kuning tajam di cakrawala pun telah menjadi kelam pula. Sementara itu pertempuran di tengah-tengah sawah itu masih berlangsung.

Ketika para prajurit meningkatkan tekanan mereka, ternyata para cantrik pun telah meningkatkan kemampuan mereka pula. Namun tanpa berjanji, masih ada usaha masing-masing untuk agak mengekang diri. Para prajurit pun tidak dapat bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka, apalagi memperguna-kan senjata. Para cantrik itu agaknya memang tidak membawa senjata. Sedangkan yang dilakukan oleh para prajurit itu, sebenarnya memang bukan tugas mereka.

Ketika para prajurit itu melihat Ki Panji Suranegara itu bertempur, mereka seakan-akan justru menunggu sambil melindungi diri mereka dari serangan-serangan para cantrik. Namun para cantrik itu rasa-rasanya juga tidak bersungguh-sungguh.

Berbeda dengan para cantrik serta para prajurit yang sedang bertempur itu, Raden Panji agaknya benar-benar ingin menunjukkan kepada Wikan, bahwa ia memiliki kemampuan untuk menangkap para pemimpin padepokan yang telah melawan kemauannya itu.

Namun ternyata bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang berilmu tinggi. Seorang yang mampu mengimbanginya.

Karena itu, maka Ki Panji Suranegara pun semakin meningkatkan kemampuannya pula.

Ki Udyana dan Nyi Udyana memperhatikan pertarungan itu sejenak untuk menilai apa yang mungkin akan terjadi. Namun kemudian mereka pun yakin, bahwa Wikan akan mampu mengimbangi kemampuan Ki Panji meskipun Ki Panji mungkin akan meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi.

Karena itu, maka Ki Udyana dan Nyi Udyana pun kemudian membiarkan Wikan bertempur terus. Namun Ki Udyana pun kemudian berpesan kepada kedua orang cantrik yang semula ikut mencabuti patok-patok bambu, “Awasi dua orang prajurit pengawal Ki Panji itu. Jika mereka melibatkan diri, usahakan agar keduanya tidak mengganggu Wikan”

“Baik, kakang” jawab cantrik itu.

Dalam pada itu, setelah berpesan, Ki Udyana dan Nyi Udyana itu pun melanjutkan kerja mereka mencabuti patok-patok bambu yang sudah ditanam oleh Ki Panji Suranegara dan para prajuritnya.

Kemarahan Ki Panji Suranegara bagaikan membakar ubun-ubun. Ia semakin merasa diremehkan. Pada saat ia berusaha menangkap para pemimpin padepokan itu, ternyata mereka masih saja mencabuti patok-patok yang sudah dipasang.

Ketika kemarahan Ki Panji itu tidak tertahankan lagi, maka ia pun berteriak kepada kedua orang pengawalnya, “Cegah mereka. Jika mereka keras kepala, hentikan dengan kekerasan”

Tetapi ketika kedua orang prajurit pengawal itu berloncatan mendekati Ki Udyana dan Nyi Udyana, maka yang telah menyongsong mereka adalah kedua orang cantrik yang juga sedang mencabuti patok-patok bambu itu.

“Minggir” teriak kedua orang prajurit pengawal Ki Panji itu hampir berbareng.

“Kau mau apa?” bertanya salah seorang cantrik itu.

“Kami akan menangkap Ki Udyana dan Nyi Udyana yang masih saja mencabuti patok-patok bambu yang telah kami tanam, sehingga kerja kami sehari ini sia-sia”

“Itu adalah hak kakang dan mbokayu Udyana. Kenapa kau pasang patok di tanah orang. Jika pemiliknya tidak senang, maka ia akan mencabutinya. Karena itu, pasanglah patok di tanahmu sendiri. Tentu tidak akan ada yang berani mencabut”

Jawaban itu agaknya memang benar. Tetapi kedua orang prajurit itu harus menjalankan perintah Ki Panji Suranegara. Karena itu maka salah seorang diantara para prajurit itu pun berkata, “Tanah ini bukan tanah kalian”

“Tanah siapa?”

“Tanah Ingkang Sinuhun”

“Kau benar. Tetapi selama ini kamilah yang menggarapnya. Kami mendapat hak untuk menggarap tanah itu lewat Ki Demang yang berkuasa mengatur tata pemerintahan di kademangan ini”

“Tanah itu sekarang diperlukan oleh Kangjeng Sinuhun”

“Kangjeng Sinuhun yang mana? Kalau yang kau maksud Kangjeng Sinuhun di Mataram, maka Kangjeng Sinuhun tidak akan memberikan perintah kepada dua orang untuk kerja yang sama. Kecuali jika keduanya memang diperintahkan untuk bekerja sama”

Kedua orang prajurit itu memang menjadi semakin bingung. Mereka pun mengerti, bahwa para penghuni padepokan itu berada di pihak yang benar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak kecuali menjalankan tugas yang diberikan oleh atasan mereka.

Akhirnya seorang diantara para prajurit itu berkata, “Pokoknya, pokoknya, aku akan menangkap Ki Udyana dan Nyi Udyana”

“Jangan. Kau tidak akan dapat melakukannya”

“Minggir” teriak seorang diantara kedua orang prajurit itu. Meskipun ia berteriak cukup keras, tetapi suaranya telah hambar.

Karena kedua orang cantrik itu tidak mau menyingkir, maka kedua orang prajurit itu pun berusaha memaksanya. Namun ternyata kedua orang cantrik itu pun telah melawan mereka.

Sementara itu, Ki Udyana dan Nyi Udyana masih saja mencabut beberapa patok lagi serta melepas tali-tali yang memanjang menghubungkan beberapa patok bambu. Keduanya sama sekali tidak menghiraukan pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Bahkan seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Sikap Ki Udyana dan Nyi Udyana itu memang membuat hati kedua orang prajurit pengawal Ki Panji itu menjadi panas. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena mereka terikat dalam pertempuran melawan kedua orang cantrik itu.

Sementara itu, Wikan yang sudah menempa diri dengan mempelajari sampai tuntas, sehingga mampu menguasai ilmu tertinggi dari padepokannya yang semula dipimpin oleh Ki Margawasana itu, sebenarnya perlahan-lahan mampu menguasai lawannya, seorang Senapati dari Mataram.

Tetapi ternyata Wikan sudah tidak didera lagi oleh panasnya darah muda. Bahkan Wikan sempat memperhitungkan beberapa kemungkinan tentang lawannya.

Jika ia langsung mengalahkan lawannya, maka Ki Panji, itu tentu akan mendendamnya. Persoalannya tidak hanya persoalan tanah padepokannya. Tetapi persoalannya akan merembet ke persoalan pribadi. Ki Panji tentu akan menjadi sangat malu jika Wikan itu dengan serta-merta mengalahkannya.

Karena itu, Wikan sengaja tidak mendesaknya dan apalagi mengalahkannya. Meskipun sekali-sekali Wikan juga menyerang, tetapi Wikan lebih banyak bertahan. Sekali-sekali serangan Ki Panji memang mampu menembus pertahanan Wikan. Tetapi jika demikian, maka Wikan pun telah membalasnya. Menguak pertahanan Ki Panji sehingga serangannya pun dapat mengenainya.

Semakin lama, pertempuran pun menjadi semakin kalut. Para prajurit yang tidak bernafsu untuk bertempur, karena mereka sadar bahwa ia bukan kewajiban mereka, menjadi semakin kendor. Untunglah bahwa para cantrik pun tidak terlalu menekan mereka. Bahkan kedua orang pengawal Ki Panji pun mulai mengalami kesulitan berhadapan dengan kedua orang cantrik.

Ki Panji sendiri, yang telah mengerahkan segenap kemampuannya, ternyata tidak segera dapat mengalahkan Wikan, sementara ki Udyana dan Nyi Udyana masih saja mencabuti patok-patok atau merobohkannya atau melepas tali-talinya.

Akhirnya Ki Panji harus melihat kenyataan, bahwa ia tidak akan berhasil menangkap pemimpin padepokan itu. Ia pun tidak akan berhasil mempertahankan patok-patok yang telah dipasang-nya. Sementara itu, semakin lama tenaganya pun menjadi semakin menyusut. Wikan telah memancingnya untuk bertempur dengan keras. Jika Ki Panji mengendor, maka Wikan dengan sengaja berusaha keras menekannya serta menembus pertahanannya dengan serangan-serangan yang keras, sehingga Ki Panji itu pun harus mengerahkan tenaganya kembali.

Akhirnya tenaga Ki Panji itu bagaikan terperas. Semakin lama tenaga serta kemampuannya pun menjadi semakin menyusut. Tetapi Wikan tidak berniat untuk mengalahkannya dihadapan prajurit-prajuritnya. Wikan akan menunggu sampai kapan saja Ki Panji itu bertempur.

Sebenarnyalah tenaga Ki Panji sudah semakin lemah. Namun akhirnya Ki Panji pun menyadari, bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu berniat menghormatinya sebagai seorang Senapati Mataram. Ki Panji sendiri sebenarnya dapat merasakan tekanan-tekanan yang semakin lama menjadi semakin berat. Bahkan jika saja lawannya yang masih muda itu menghentakkan ilmunya, mungkin ia sudah tidak mampu lagi bertahan.

Karena itu, Ki Panji pun akan mempergunakan kesempatan itu. Ia tidak mau dipermalukan dihadapan prajurit-prajuritnya. Karena itu maka tiba-tiba saja Ki Panji itu menghentakkan sisa kemampuan dan tenaganya.

Wikan memang agak terkejut, sehingga untuk sekejap itu pun terdesak surut.

Sementara itu, Ki Panji pun kemudian berkata, “kali ini aku akan memaafkan kalian seisi Padepokan. Patok-patokku terlanjur kalian cabut. Sementara malam yang turun telah menyelamatkan, kalian. Tetapi jangan bergembira dan jangan merasa menang. Aku adalah pejabat di Mataram. Jika aku mau, besok aku dapat mengerahkan prajurit kalau perlu segelar sepapan. Bukan hanya untuk mempertahankan patok-patok yang akan aku pasangi lagi, tetapi aku dapat menghancurkan seluruh padepokanmu menjadi debu sehingga tidak tersisa sama sekali”

Wikan tidak menjawab. Ia berdiri saja mengawasi Ki Panji yang kemudian memberi isyarat kepada para prajuritnya untuk meninggalkan arena pertempuran.

Para prajurit itu pun bergerak surut. Ketika para cantrik mendesak, maka Wikan pun berkata lantang, “Tetap di tempat”

Para cantrik itu pun mengerti, bahwa Wikan tidak ingin mereka mengejar para prajurit yang mengundurkan diri, sementara malam menjadi semakin gelap.

Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu pun benar-benar telah berhenti. Para prajurit sudah meninggalkan arena. Mereka dengan tergesa-gesa pergi tanpa berpaling lagi.

Pertempuran yang berlangsung beberapa lama itu, telah menyakiti beberapa orang. Tetapi tidak ada korban seorang pun yang terbunuh. Ada satu dua orang prajurit yang meninggalkan arena dengan dibantu oleh kawan-kawannya, karena ada bagian tulang-tulangnya yang terasa menjadi retak. Ada yang perutnya mual serta ada pula yang nafasnya menjadi sesak.

Demikian pula para cantrik. Ada beberapa orang cantrik yang wajahnya menjadi lebam. Ada yang matanya menjadi kebiru-biruan. Dua orang cantrik yang mulutnya berdarah karena giginya yang patah. Beberapa orang cantrik menjadi] bincang, karena kakinya kesakitan.

Ki Udyana dan Nyi Udyana justru tertawa melihat Wikan yang tubuhnya menjadi kotor oleh lumpur. Sambil mendekat Ki Udyana pun berkata, “Nampaknya kau sudah semakin dapat menguasai perasaanmu Wikan. Darahmu tidak lagi cepat mendidih sebagaimana saat kau masih seorang anak muda. Sekarang kau dapat mengendalikan dirimu dengan baik. Kau tidak menghentikan perlawanan Ki Panji dan mengalahkannya di depan prajurit-prajuritnya”

“Aku tidak ingin persoalannya berkembang ke arah yang lebih buruk, paman. Aku tidak mau persoalannya menjadi persoalan pribadi”

“Kau sudah benar, Wikan” sahut bibinya, “nah, sekarang kita akan pulang. Kalian akan mandi dan berganti pakaian karena tubuh dan pakaian kalian penuh dengan Lumpur”

“Tanaman kita menjadi rusak, paman”

“Kalau masih mungkin kita akan menyulaminya. Tetapi meskipun tanaman kita rusak, namun itu lebih baik daripada tanah kita itu akan diambil orang”

Demikianlah maka Wikan dan para cantrik itu pun kemudian meninggalkan sawah mereka yang tanamannya menjadi berserakan. Bukan saja yang menjadi arena pertempuran. Tetapi para prajurit yang bergerak mundur itu pun berjalan didalam kotak-kotak sawah mereka.

Sejenak kemudian para cantrik itu pun kembali pula ke padepokan. Masih ada yang berdesah menahan sakit tulang rusuknya. Tetapi ada pula yang sakit di giginya yang patah. Sedangkan yang lain telapak tangannya menutupi matanya yang bengkak.

Ketika Wikan dan para cantrik sedang sibuk membersihkan diri, maka ki Udyana dan Nyi Udyana ternyata sudah bersiap untuk pergi.

“Kemana paman?”

“Cepat bersiaplah. Kita pergi ke rumah Ki Demang”

“Malam-malam begini?”

“Tidak apa-apa. Ki Demang tidak akan marah. Kita akan melaporkan apa yang sudah terjadi di tanah kita agar Ki Demang dapat mendengar langsung dari mulut kita. Dengan demikian, jika ada laporan dari pihak lain, Ki Demang akan dapat mempertimbangkan keputusan yang akan diambilnya”

Wikan pun dengan cepat berbenah diri. Kemudian ia pun telah mempersiapkan kudanya pula.

Sejenak kemudian, tiga orang penunggang kuda telah keluar dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Udyana itu. Mereka melarikan kuda. mereka tidak terlalu kencang agar tidak mengejutkan orang-orang yang sudah tertidur lelap di pembaringan mereka.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Demang, ternyata Ki Demang justru masih berada di gardu. Untunglah Ki Udyana memperlambat kudanya dan mengucapkan selamat malam kepada orang-orang yang berada di gardu.

“Ki Udyana“ sapa Ki Demang yang turun dari gardu dari antara orang-orang yang meronda.

“Ki Demang“ Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan pun meloncat turun.

“Ki Udyana akan pergi ke rumahku?” bertanya Ki Demang.

“Ya, Ki Demang”

“Mari. Silahkan”

Ki Demang pun segera meninggalkan gardu parondan itu. Sementara Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan pun menuntun kuda mereka mengikuti dibelakang.

Rumah Ki Demang hanya berjarak beberapa langkah saja dari gardu itu. Karena itu, maka mereka pun segera memasuki pintu regol rumah Ki Demang.

“Silahkan naik ke pendapa dan silahkan duduk di pringgitan, Ki Udyana, Nyi Udyana dan angger Wikan” berkata Ki Demang, “Aku akan membuka pintu pringgitan dari dalam”

Ketiganya pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di pringgitan, sementara Ki Demang masuk lewat pintu seketeng. Sejenak kemudian, maka Ki Demang pun telah keluar pula lewat pintu pringgitan.

“Malam-malam Ki Udyana” berkata Ki Demang setelah duduk, “Apakah ada kabar yang penting?”

Ki Udyana mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Demang. Memang ada yang kami anggap penting untuk kami sampaikan kepada Ki Demang”

“Tentu tanah itu”

“Ya, Ki Demang”

Ki Udyana pun kemudian minta Wikan untuk menceriterakan pembicaraannya dengan Ki Panji Suranegara di siang hari, kemudian ketika bersama-sama para cantrik mencabuti patok-patok yang sudah dipasang oleh Ki Panji dan prajurit-prajuritnya.

Ki Demang menarik nafas panjang. Katanya, “Bagaimanapun juga persoalannya memang menjadi besar.

“Besok aku akan menemui Ki Rangga Kriyadipraja di Kembangarum. Aku akan melaporkan segala sesuatunya yang telah terjadi”

“Terima kasih, Ki Demang. Jika Ki Demang tidak berkeberatan biarlah Wikan ikut bersama Ki Demang ke Kembangarum agar kita Ki Demang tidak sendiri”

“Aku dapat pergi dengan Ki Jagabaya, Ki Udyana. Tetapi jika angger Wikan dapat menemani kami, maka akan senang sekali”

“Bukankah kau besok dapat pergi bersama Ki Demang, Wikan?” bertanya Ki Udyana.

“Tentu paman” sahut Wikan. Lalu katanya kepada Ki Demang, “Ki Demang. Esok sebelum matahari terbit, aku sudah akan berada di sini”

“Baiklah, ngger. Jika sudah ada kesepakatan bahwa angger akan pergi, besok aku dan Ki Jagabaya akan menunggu”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan itu minta diri. Namun Wikan sempat bertanya, “Apakah Ki Demang akan kembali ke gardu?”

“Ya” jawab Ki Demang, “rasa-rasanya jika ada persoalan datang, yang lain ikut menyusul. Mungkin tidak ada hubungannya, tetapi persoalan yang timbul kemudian ini juga terasa mengganggu sekali?”

“Ada apa Ki Demang?” bertanya Ki Udyana.

“Ki Jagabaya memberitahukan bahwa seseorang telah melihat orang yang mencurigakan hilir mudik di padang rumput yang aku siapkan untuk dijadikan pesanggrahan itu. Tetapi jelas mereka bukan petugas dari Mataram. Mereka bahkan mengamati patok-patok yang sudah aku pasang di padang rumput itu dari ujung sampai ke ujung. Bahkan mereka sempat pula memperhatikan padang perdu yang memisahkan padang rumput itu dengan hutan belukar yang akan disiapkan menjadi hutan tutupan”

“Ada berapa orang?”

“Yang dilihat orang itu ada sekitar lima orang”

“Lima orang. Apakah mereka orang-orang yang ditugaskan oleh Ki Panji Suranegara?”

“Mereka tidak mengenakan pakaian prajurit”

“Mungkin Ki Panji sengaja memerintahkan orang-orangnya tidak mengenakan pakaian keprajuritan”

“Tetapi menurut bentuk dan ujudnya, mereka bukan prajurit”

Ki Udyana mengangguk-angguk kecil. Sementara Wikan pun berkata, “Mungkin Ki Panji Suranegara atau. justru Ki Tumenggung Singaprana atau orang lain yang mereka iri kepada Ki Tumenggung Yudapangarsa sedang memikirkan satu usaha untuk menggagalkan tugasnya”

“Memang ada kemungkinan” sahut Ki Demang, “karena itu, jika esok kami pergi menemui Ki Rangga Kriyadipraja, kami akan dapat melaporkannya pula. Tetapi sebenarnya maksud kami, kami ingin tahu lebih banyak tentang orang-orang itu. Apakah mereka ada hubungannya dengan pasanggrahan itu, atau ada kepentingan lain. Tetapi menilik ujudnya dan bahkan sikapnya, mereka bukan prajurit. Karena itu, aku perintahkan anak-anak bersiap-siap menghadapi kemungkinan buruk yang dapat terjadi”

Belum lagi pembicaraan mereka selesai, serta sebelum Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan bangkit dan turun dari pendapa, maka mereka terkejut melihat beberapa orang anak muda yang semula berada di gardu telah di dorong-dorong oleh beberapa orang yang tidak dikenal.

Orang-orang yang nampak garang. Pakaian mereka pun nampaknya mereka pakai sekenanya saja. Baju-baju mereka tidak tertutup di bagian dada. kat kepala mereka pun sekedar asal melekat di kepala. Namun di lambung mereka tergantung senjata-senjata mereka yang mendebarkan. Ada yang membawa golok yang besar. Pedang yang panjang serta ada pula yang membawa kapak yang diselipkan di punggung.

“Inikah rumah Ki Demang” bertanya seorang diantara mereka sambil mendorong seorang anak muda.

“Ya. Ini rumah Ki Demang”

Ki Demang pun segera bangkit berdiri diikuti oleh Ki Udyana, Nyi Udyana dan Wikan. Mereka segera turun ke halaman.

Orang-orang yang datang itu pun segera mendorong anak-anak muda itu kesamping, sehingga mereka jatuh terguling di tanah. Tenaga orang-orang yang datang itu rasa-rasanya bagaikan tenaga badak yang sangat besar.

“Ternyata kau belum tidur Ki Demang. Bahkan agaknya masih ada tamu di rumahmu atau orang-orang itu juga orang-orang ronda yang ingin mendapat tempat yang lebih hangat di rumahmu”

“Ya. Kami memang sedang meronda” sahut Ki Udyana, “Tetapi karena kami sudah tua, maka kami memilih beberapa di pringgitan rumah Ki Demang dari pada di gardu. Angin malam agaknya tidak begitu sesuai dengan keadaanku sekarang. Dahulu kita aku masih muda, aku juga selalu berada di gardu jika aku meronda, tetapi sekarang aku sudah tua”

“Cukup” potong seorang diantara mereka. Seorang yang tubuhnya agak pendek. Tetapi orang itu nampak sedikit gemuk. Ikat kepalanya hanya diikatkan saja di dahinya, sehingga nampak kepadanya yang sudah mulai menjadi botak. Bajunya terbuka di dada dan perutnya, sehingga perutnya yang buncit nampak dilingkari ikat pinggang kulit yang lebar.

Dibawah sorot lampu minyak di pendapa nampak betapa garangnya wajah orang itu. Bahkan nampaknya ada sedikit cacat dibawah mata kirinya yang cekung.

Ki Udyana pun terdiam, Ia memang sengaja menarik perhatian orang-orang yang berwajah garang itu.

“Apakah kalian akan menemui aku?” bertanya Ki Demang.

“Ya. Aku mempunyai keperluan yang khusus dengan Ki Demang,

“Apakah kita dapat membicarakannya esok pagi. Bukankah sekarang sudah terlalu malam”

“Apakah bedanya malam dan siang. Sekarang Ki Demang juga belum tidur. Bahkan seandainya Ki Demang sudah tidur, aku akan minta Ki Demang dibangunkan. Kalau tidak ada yang berani membangunkannya, maka aku sendirilah yang akan membangunkannya”

“Marilah. Jika demikian duduklah di pringgitan”

“Tidak. Aku tidak perlu duduk. Biarlah kita berbicara disini saja”

“Bukannya aku tidak mengerti unggah-ungguh. Tetapi Ki Sanak sendiri yang tidak bersedia duduk di pringgitan”

“Hentikan sikap basa-basi itu. Aku ingin kita berbicara langsung pada persoalannya”

“Katakan”

“Ki Demang. Aku sudah melihat lingkungan yang luas itu sampai ke padang perdu”

“Kapan Ki Sanak melihat lingkungan itu?”

“Tadi. Tadi aku sudah melihat-lihat”

“Lalu?”

“Di daerah ini akan ada kerja yang besar. Akan dibangun pasanggrahan serta bangunan-bangunan pendukungnya. Bahkan mungkin akan dibangun barak prajurit pengawal yang akan dihuni jika Kangjeng Sinuhun ada di pasanggrahan ini”

“Ya”

“Karena itu, maka akan dibutuhkan berbagai macam bahan. Bahan bangunan, bahan mentah dan bahan-bahan lain yang ada hubungannya dengan pembangunan itu”

“Ya”

“Nah, Ki Demang harus menyerahkan pengadaan semua kebutuhan bagi pasanggrahan itu kepada kami. Kepada kelompok kami”

“Apa yang kau maksud? Belum tentu pelaksanaan pembangunan itu menyerahkan pengadaan bahan-bahan yang diperlukan kepadaku”

“Itulah yang akan aku bicarakan. Aku tahu, kalau Ki Demang termasuk seorang yang bodoh, yang gagasan-gagasannya tidak dapat berkembang”

Ki Demang itu menggeram. Tetapi ia masih menahan diri.

“Pada pembicaraan-pembicaraan berikutnya, Ki Demang harus minta dengan tegas, bahwa Ki Demang dapat menyediakan tanah untuk pesanggrahan itu, tetapi Ki Demang akan menjadi satu-satunya orang yang akan memenuhi segala macam bahan kebutuhan yang ada hubungannya dengan pembangunan pasanggrahan itu. Jika pesan-pesanan itu mulai berdatangan, maka uang pun akan mengalir dari para pemimpin di Mataram yang bertugas membangun pasanggrahan itu”

“Tidak mungkin Ki Sanak. Aku tidak pernah melakukannya. Aku tentu akan mengalami kesulitan untuk menyediakan segala kebutuhan pembangunan itu. Bahkan seandainya aku mengerah-kan semua orang di kademangan ini. Misalnya aku dapat menyediakan batu, pasir, gamping. Apalagi kayu. Mungkin aku dapat menyediakan beratus-ratus bambu. Tetapi hanya bambu. Belum lagi kebutuhan sehari-hari. Minum, makan dan kebutuhan-kebutuhan kecil lainnya”

“Bodoh sekali” bentak orang bertubuh agak pendek dan sedikit gemuk itu, “Ki Demang tinggal menerima pesan itu. Serahkan semuanya kepada kami. Kamilah yang akan melaksanakannya. Orang-orang kami sudah siap melakukannya. Mereka adalah orang-orang yang berpengalaman”

“Tentu saja aku tidak akan dapat mempertanggung jawabkannya, Ki Sanak. Aku belum mengenal Ki Sanak. Jika terjadi penyimpangan, maka tentu akulah yang akan berhadapan dengan para petugas dari Mataram”

“Tidak aka ada penyimpangan. Kami sudah berpengalaman berpuluh tahun. Sejak aku remaja aku sudah ikut ayah menyelenggarakan gerakan pengadaan bahan-bahan bangunan dan bahkan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari. Ibuku sampai sekarang masih menguasai perdagangan bahan-bahan mentah. Tidak akan ada penyimpangan. Sebagian dari keuntungan akan menjadi milik Ki Demang. Kita bahkan akan dapat mengharapkan keuntungan yang besar, karena sesuai dengan perjanjian, tidak akan ada yang menyaingi Ki Demang. Semua pesanan harus melalui Ki Demang. Tetapi meskipun demikian, kita jangan menaikkan harga semau-mau kita. Kelebihan dari harga di pasar, seharusnya juga tidak terlalu banyak”

“Ki Sanak” berkata Ki Demang, “sampai sekarang, aku belum pernah membuat perjanjian dengan para petugas dari Mataram. Usul Ki Sanak akan aku pikirkan. Tetapi aku belum menjanjikan untuk menerima tawaran Ki Sanak akan aku pikirkan. Tetapi aku belum menjanjikan untuk menerima tawaran Ki Sanak itu”

“Ki Demang. Aku minta Ki Demang jangan mempersulit hubungan diantara kita”

“Mempersulit?”

“Ya. Sebaiknya Ki Demang menerima gagasanku untuk bekerja sama dengan Ki Demang. Bukankah dasar kerja sama ini akan saling menguntungkan”

“Mungkin saling menguntungkan. Tetapi aku belum tahu, siapakah Ki Sanak ini sebenarnya. Dimana Ki Sanak tinggal dan latar belakang dari kehidupan Ki Sanak sekalian”

“Jadi Ki Demang mencurigai kami?”

“Bukan mencurigai. Tetapi bukan segala sesuatunya itu memerlukan penjelasan”

“Semuanya sudah jelas”

Namun tiba-tiba saja Wikan pun berkata, “Apakah Ki Sanak bekerja sama dengan Ki Panji Suranegara?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menggeleng, “Tidak. Aku tidak kenal dengan Ki Panji Suranegara” :

“Ki Panji juga sudah membuat rencananya sendiri. Bahkan Ia seorang pejabat dari Mataram, tetapi ia tidak berhasil mendapat-kan tugas untuk melaksanakan pembuatan pesanggrahan ini”

“Lalu, apa yang akan dilakukannya?”

“Seperti yang kau rencanakan. Ki Panji Suranegara bersama Ki Tumenggung Singaprana akan mengadakan semua kebutuhan pembangunan. Bahan-bahan bangunan itu sendiri serta bahkan mentah yang akan dipergunakan setiap hari, karena disini akan bekerja puluhan orang pekerja”

“Tidak. Ki Demang harus mencegahnya”

“Bagaimana kami dapat mencegahnya. Jika Ki Tumenggung itu datang dengan beberapa kelompok prajurit pilihan dibawah pimpinan Senapati yang berilmu tinggi”“

“Aku tidak takut kepada mereka. Aku tidak peduli siapa mereka. Jika Ki Demang sudah menyerahkan kepada kami, maka tidak akan ada orang lain yang dapat mengambilnya”

“Ki Sanak. Seandainya sekarang aku menyerahkannya kepada Ki Sanak. Tetapi kemudian di Tumenggung Singaprana itu datang dan memaksakan kehendaknya, apakah aku dapat melawannya? Bahkan mungkin Ki Tumenggung Singaprana itu akan berbicara langsung dengan Ki Tumenggung Yudapangarsa yang telah mendapat perintah untuk melaksanakan tugas pembuatan pasanggrahan ini. Lalu, apa kuasaku untuk mengambilnya?”

“Ki Demang mempunyai tanah. Ki Demang dapat mengancam bahwa penyerahan tanah itu akan diurungkan?”

“Seandainya aku bersikap demikian, kemudian datang pasukan segelar sepapan untuk menduduki padang rumput itu, lalu apa dayaku menghadapi mereka”

“Ki Demang dapat menyerahkannya kepada Ki tumenggung. Tetapi Ki Demang harus memberikan ganti rugi kepadaku. Ki Demang harus mengganti uang yang sudah aku keluarkan”

“Uang apa?”

“Aku sudah terlanjur membeli berbagai macam bahan bangunan dan bahan kebutuhan sehari-hari dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar, dengan perhitungan bahwa aku akan dapat menjualnya dengan keuntungan yang baik. Jika itu gagal, maka kaulah yang bertanggung-jawab. Kau harus mengganti segala kerugian yang aku derita karena kebodohanmu”

Telinga Ki Demang menjadi merah. Katanya, “Bagaimana mungkin kau dapat, menyalahkan kau. Bagaimana mungkin aku bertanggung-jawab atas kerugian yang kau alami. segala sesuatunya terjadi karena kesalahanmu sendiri”

“Kau tidak dapat mengelak Ki Demang. Bahkan aku akan minta tanggungan kepadamu malam ini juga. Jika kerja sama diantara kita dapat berlangsung, tanggungan itu akan aku kembalikan. Tetapi jika gagal, maka tanggungan itu akan menjadi milikku”

“Ki Sanak” Wikan lah yang menyahut, “Kenapa harus berbelit-belit, katakan saja bahwa kau akan merampok”

“Jika kerja sama itu berlangsung, maka hasilnya akan jauh lebih baik dari sekedar merampok Ki Demang malam ini. Mungkin keuntungan yang akan aku dapat itu berlipat ganda dari hasil rampokan. Apalagi jika kita sudah berhasil berhubungan dengan para pejabat yang mudah disuap. Maka segala sesuatunya akan dapat berjalan dengan lancar”

“Tidak Ki Sanak. Kami tidak dapat berjanji apa-apa. Kami memang tidak menolak gagasan Ki Sanak. Tetapi segala sesuatunya masih tergantung pada keadaan serta kemungkinan-kemungkinan yang ada”

“Baik, Ki Demang. Kami akan menunggu. Tetapi seperti yang kami katakan, sekarang berikan uang tanggungan itu kepada kami. Mungkin uang, mungkin perhiasan, atau mungkin pula wesi aji, atau apa saja yang nilainya memadai”

“Itu tidak mungkin, Ki Sanak. Kami tidak akan memberikan apa pun juga kepada Ki Sanak. Kami tidak akan memberikan sekeping uang atau selembar kain kepada Ki Sanak” Wikan lah yang menjawab.

Tetapi orang bertubuh gemuk itu tertawa. Katanya, “Jangan memaksa aku bertindak kasar, Ki Demang. Aku tahu kau seorang yang kaya. Karena itu, sebaiknya kau jangan terlalu kikir. Kau tentu lebih sayang akan nyawamu daripada harta-benda. Bukankah harta benda itu dapat dicari, sedangkan nyawa, kau hanya mempunyai satu. Jika satu itu nanti aku ambil, maka kau tentu akan kehabisan sehingga kau tidak akan mungkin dapat mencari harta benda lagi”

“Kau tidak akan melakukannya, Ki Sanak. Kau tahu, bahwa di gardu itu terdapat anak-anak muda yang siap berlari ke halaman ini jika mereka mendengar suara Ki Demang memanggil”

“Apa artinya anak-anak itu bagi kami?. Lihat, ada beberapa orang anak muda yang aku seret kemari. Tidak seorang pun yang berbuat sesuatu. Jika aku akan merampokmu, maka kau kira anak-anak ini akan berani membantumu”

“Tentu Ki Sanak” sahut Wikan, “mereka akan serentak bangkit melawanmu”

Orang itu tertawa. Katanya, “Mungkin kalian memang belum pernah mendengar namaku, sehingga kalian berani menantangku. Baiklah. Aku akan memberitahu kalian, siapa kami yang malam ini datang kemari. Kami adalah orang-orang yang selama ini tinggal di dekat Mataram. Kami adalah orang-orang dari Tempuran. Setiap orang Mataram akan dapat mengenal kami. Gerombolan kami dikenal dengan nama Gerombolan Sapu Angin. Aku adalah pemimpin gerombolan Sapu Angin itu. Gerombolan yang tidak ada duanya di Mataram”

“Jadi kalian berasal dari jauh? Darimana kalian tahu, bahwa akan ada pembangunan pasanggrahan di sini?” bertanya Wikan”

“Kau memang bodoh sekali. Bukankah yang akan membangun itu orang-orang Mataram. Aku tinggal dekat sekali dengan sumbernya. Yang agak sulit bagiku adalah justru mencari keterangan tentang lingkungan ini. Tentang Ki Demang yang kaya dan tentang kemungkinan untuk kerjasama, melayani pengadaan kebutuhan dari pembangunan pesanggrahan itu. Tetapi ternyata kalian tidak segera dapat menerima tawaranku. Karena aku datang dari jauh, maka aku tidak mau kedatanganku disini sia-sia”

“Ki Sanak” berkata Wikan, “sayang bahwa kalian agak kurang mendapat kesempatan untuk mengamati keadaan di sekitar tempat ini. Kalau kalian termasuk dalam gerombolan yang ditakuti, maka disini juga ada segerombolan yang ditakuti. Gerombolan yang disebut gerombolan Naga Wulung. Gerombolan yang tidak tertandingi. Jika kau merasa dirimu ditakuti di Mataram, maka gerombolan Naga Wulung tidak akan dapat kau takut-takuti”

“Jangan membual Ki Sanak” sahut orang yang agak pendek itu, “lama-lama. aku menjadi muak. Aku ingin berbicara dengan Ki Demang sendiri. Tidak dengan kalian”

“Ki Demang tidak akan berani berbicara langsung dengan kalian, Ki Sanak. Karena Ki Demang sekarang berada dibawah kekuasaanku”

“Dibawah kekuasaanmu?” orang itu termangu-mangu sejenak. Sedangkan jantung Ki Demang juga terasa berdebar. Ia tidak tahu maksud Wikan dengan pernyataannya itu.

Namun kemudian Ki Demang itu pun tanggap juga.

“Dengar. Akulah salah seorang dari gerombolan Naga Wulung itu. Karena itu, jangan bertolak pinggang disini. Segala sesuatunya yang berhubungan dengan pengadaan bahan apa saja sekarang memang sudah ada pada Ki Demang sebagai imbalan dari penyediaan tanah untuk pasanggrahan itu. Tetapi akulah yang akan melaksanakannya. Akulah yang akan menyediakan semua kebutuhan yang ada hubungannya dengan pembuatan pesanggrahan itu”

“Anak iblis kau” geram orang itu.

“Kalian adalah pengikut gerombolan Sapu Angin yang datang dari jauh. Sementara itu, disini, dilingkungan tempat pasanggrahan yang akan dibangun itu juga ada gerombolan yang sudah siap melayani segala kebutuhan. Karena itu, pulang sajalah”

Orang yang bertubuh pendek itu kemudian menyahut, “Jika demikian, maka kita akan menakar kemampuan. Jika gerombolan Naga Wulung menang, aku akan menyingkir. Tetapi jika gerombolanku, gerombolan Sapu Angin menang, maka kalian harus minggir”

“Bagus. Aku akan melayani tantangan kalian”

“Berapa orang diantara kalian yang ada disini?”

“Tiga orang. Aku, paman dan bibi? Kalian ada berapa orang yang datang kemari? Kau dapat memilih. Kau akan menghadapi kami dengan jumlah yang sama, atau kau akan bertarung dengan segenap kekuatan yang kalian bawa. Bagi kami tidak akan ada perbedaan apa-apa. Apakah kami harus bertempur melawan tiga orang atau harus bertempur satu melawan satu”

“Cara yang sudah terbiasa aku dengar untuk membatasi .jumlah lawan. Kalian bertiga dengan sengaja ingin menggelitik harga diri kami, agar kami justru menghadapi kalian dalam jumlah yang sama”

“Kau benar. Soalnya sekarang, apakah kau punya harga diri atau tidak”

“Aku memang mengagumi keberanianmu. Aku yakin bahwa gerombolan yang kau sebut Naga Wulung itu sebenarnya tidak ada. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jangan seret anak-anak muda di gardu itu dalam pertarungan diantara kita. Apakah kau berasal dari gerombolan Naga Wulung, atau kau sebenarnya bebahu padukuhan dan kademangan ini atau siapapun. Jika anak-anak itu ikut campur, maka di halaman ini tentu akan berserakan mayat mereka. Nah, sekarang terserah kepadamu. Kepada ketiga orang yang kau sebut dari gerombolan Naga Wulung itu. Apakah kau masih tetap akan melindungi Ki Demang dengan caramu, atau kau akan minggir, karena ikut campur dalam persoalan ini akan dapat berarti buruk sekali. Kesombonganmu itu harus kau tebus mahal sekali”

Tetapi Wikan justru melangkah maju, “Baiklah. Aku kira tampang kami memang tidak segelap tampang kalian, sehingga kalian tidak percaya sama sekali bahwa kami adalah orang-orang dari gerombolan Naga Wulung. Namun siapa pun kami, kami akan mengusir kalian dari tempat ini”

Orang yang bertubuh pendek dan sedikit gemuk itu pun memberi isyarat kepada kawan-kawannya agar mereka bersiap. Sementara itu Wikan pun telah mempersilahkan Ki Demang naik ke tangga pendapa.

“Sudah aku katakan, bahwa kami bertiga akan menghadapi kalian. Bertiga atau semuanya. Atau pertarungan seorang lawan seorang”

“Aku tidak mau membuang banyak waktu. Aku harus membunuh kalian dengan cepat, kemudian membawa tanggungan dari Ki Demang sebelum pembicaraan kami dapat dituntaskan. Pada kesempatan lain kami akan kembali untuk menanyakan, apakah kerja sama antara kami-dan Ki Demang dapat berlangsung”

Wikan pun tanggap. Orang-orang itu adalah orang-orang yang keras, kasar dan licik. Bagi mereka harga diri itu tidak ada artinya apa-apa. Apa pun dapat mereka lakukan untuk mencapai maksudnya.

Wikan pun kemudian melangkah maju. Ki Udyana dan Nyi Udyana yang tidak banyak berbicara itu pun telah mempersiapkan diri pula.

Seperti yang diduga oleh Wikan, maka orang-orang itu pun tidak akan menghadapinya bersama paman dan bibinya hanya dengan bertiga. Tetapi mereka semua pun akan segera terjun ke arena.

Sebelum mereka bertempur, Wikan sempat menghitung jumlah orang-orang yang datang itu. Mereka semuanya ternyata berjumlah lima orang.

Ketika anak-anak muda yang didorong-dorong oleh orang-orang kasar itu bangkit berdiri, maka orang bertubuh pendek itu pun berkata lantang, “Kalian tidak usah turut campur agar kalian tidak menyesal”

Bahkan Wikan pun kemudian berkata kepada mereka, “Minggirlah. Orang-orang ini agaknya orang-prang yang memang tidak mempunyai jantung sehingga mereka akan dapat berbuat sesuatu yang tidak masuk akal. Biarlah kami bertiga menghadapi mereka”

“Kau akan menebus kesombongan kalian dengan nyawamu” geram orang bertubuh pendek dan sedikit gemuk itu.

Wikan pun kemudian berkata, “Paman. Kita akan melayani permainan mereka. Sedangkan bibi akan melindungi Ki Demang”

“Baik” jawab Ki Udyana yang kemudian melangkah maju. Sedangkan Nyi Udyana ternyata mengerti maksud Wikan. Orang-orang yang licik itu jika terdesak, akan dapat berbuat apa saja. Mereka akan dapat menerkam Ki Demang untuk mereka pergunakan sebagai perisai.

Orang bertubuh pendek dan sedikit gemuk itu pun kemudian telah memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Serentak kelima orang itupun bergerak mendekati Wikan dan Ki Udyana yang juga sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang yang nampaknya kasar dan bengis itu pun sudah mulai menyerang. Berturutan mereka berloncatan menyerang Wikan dan Ki Udyana.

Tetapi keduanya telah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Mereka menghadapi kelima orang itu dengan sangat berhati-hati. Agaknya kelima orang itu memang orang-orang yang berilmu tinggi. Namun ilmu yang tinggi itu telah mereka sadap dengan hati yang gelap. Karena itu, maka akibatnya justru sangat berbahaya bagi orang banyak.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Udyana dan Wikan pun telah bertempur melawan lima orang yang mengaku dari gerombolan Sapu Angin. Mereka ternyata memang orang-orang kasar. Serangan-serangan mereka datang seperti angin ribut yang mengguncang-guncang dengan tenaga yang sangat besar. Tetapi serangan-serangan mereka yang kadang-kadang datang dengan serentak dan tiba-tiba, mengingatkan Ki Udyana dan Wikan pada Aji Rog-rog Asem.

Ternyata kelima orang itu benar-benar orang-orang berilmu tinggi. Namun kelima orang itu pun terkejut pula, bahwa di tempat yang jauh ini mereka telah bertemu dengan dua orang yang berilmu sangat tinggi.

Karena itu, meskipun kelima orang itu meningkatkan ilmu mereka, namun mereka masih saja belum dapat menguasai kedua orang itu.

Demikianlah, maka pertempuran di halaman rumah Ki Demang itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketika anak-anak muda yang berada di halaman itu berniat untuk memberitahukan kepada kawan-kawannya yang ada di gardu, maka Wikan pun sempat berteriak, “Jangan libatkan mereka. Biarlah orang-orang ini kami tangani. Kami tidak ingin ada korban yang jatuh diantara para peronda”

Anak-anak muda itu memang mengurungkan niatnya. Mereka bahkan mundur semakin menjauhi arena. Ketika Nyi Udyana memberikan isyarat, maka mereka pun segera bergeser ke tangga. Mereka berdiri di belakang Ki Demang yang menyaksikan pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran.

Sebenarnya Ki Demang sendiri bukan seorang pengecut. Tetapi ketika ia bergeser turun satu tangga, Nyi Udayana pun berdesis, “Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya, Ki Demang”

“Ya” Ki Demang yang menyaksikan pertempuran itu dengan saksama memang melihat, bahwa kelima orang itu berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka Wikan dan Ki Udyana pun berloncatan dengan tangkasnya. Kaki-kaki mereka seakan-akan tidak berjejak diatas tanah. Sehingga dengan demikian, maka kadang-kadang lawan-lawan mereka pun menjadi bingung.

Tetapi lawan-lawan mereka pun berbekal ilmu yang tinggi. Apalagi jumlah mereka berlipat, sehingga Ki Udyana dan Wikan pun harus semakin meningkatkan ilmu mereka pula.

Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Meskipun Wikan hanya berdua dengan Ki Udyana, namun mereka berdua sudah menguasai puncak ilmunya sampai tuntas. Karena itu, maka keduanya pun tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Bahkan serangan-serangan mereka berdua pun mulai berhasil menyusup pertahanan lawan.

Tetapi lawan-lawan mereka pun telah menghentakkan ilmu mereka pula. Karena itu, maka sekali-sekali serangan mereka pun berhasil mengenai sasarannya. Wikan dan Ki Udyana tergetar pula jika serangan lawannya sempat mengenainya.

Wikan telah terdorong surut ketika kaki orang yang bertubuh pendek itu mengenai lambungnya. Sebelum ia berhasil memperbaiki keadaannya, maka seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan pun telah meloncat dengan kecepatan yang tinggi. Tangannya yang terjulur langsung mengenai dada Wikan dengan derasnya.

Wikan terhuyung-huyung. Hampir saja Wikan kehilangan keseimbangannya. Namun ketika seorang yang lain melenting sambil berputar di udara dengan kaki terayun mendatar mengarah ke kening, maka telah terjadi benturan yang keras.

Kaki orang itu rasa-rasanya telah membentur lapisan baja yang sangat keras. Bahkan orang itu telah tergetar beberapa langkah surut. Bahkan orang itu telah kehilangan keseim-bangannya.

“Terima kasih, paman” desis Wikan. Namun pada saat yang hampir bersamaan, orang yang bertubuh pendek itu pun telah meloncat dengan kaki terjulur. Tubuhnya meluncur dengan derasnya.

Ki Udyana lah yang kemudian terdorong beberapa langkah kedepan. Bahkan hampir saja ia jatuh terjerembab di tanah yang keras. Kaki yang terjulur itu telah menghantam punggungnya dengan kekuatan yang sangat besar.

Tetapi Ki Udayana justru telah menjatuhkan dirinya, berguling beberapa kali. Kemudian melenting berdiri.

Orang bertubuh pendek itu tidak sempat memburunya. Wikan telah meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya menebas mendatar tepat mengenai tengkuknya.

Orang itulah yang terpelanting jatuh, sementara Ki Udyana telah tegak berdiri dan siap menghadapi lawan-lawannya.

Pertempuran itu menjadi semakin rumit. Ki Udyana dan Wikan pun telah meningkatkan kemampuan mereka semakin tinggi, sehingga dengan demikian, maka lawan-lawan mereka pun semakin mengalami kesulitan.

Orang bertubuh pendek yang mengaku pemimpin dari gerombolan Sapu Angin itu harus mengakui, bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Siapa pun mereka, apakah mereka benar-benar orang-orang dari gerombolan Naga Wulung atau mereka itu bebahu kademangan atau bahkan prajurit Mataram yang bertugas di lingkungan yang akan dibangun pesanggrahan itu, mereka harus di singkirkan.

Karena itu, maka orang bertubuh pendek itu pun segera menarik goloknya yang besar dari wrangkanya yang tergantung di lambungnya.

Karena pemimpinnya sudah menarik senjatanya, maka yang lain pun segera menarik senjata mereka pula.

Ki Udyana dan Wikan yang melihat lawan-lawan mereka bersenjata, maka mereka pun melangkah beberapa langkah surut. Mereka harus menjadi semakin berhati-hati. Ada berbagai macam senjata yang akan mereka hadapi.

Tetapi Ki Demang yang berdiri diatas tangga tidak tinggal diam. Demikian ia melihat kelima orang garang yang datang kerumahnya itu menarik senjata mereka, maka Ki Demang pun segera berlari ke pintu pringgitan.

“Ki Demang, “ panggil Nyi Udyana.

“Sebentar Nyi. Aku akan segera kembali”

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, Ki Demang itu pun sudah keluar lagi dari ruang dalam. Di tangan kanannya ia membawa sebatang tombak pendek. Ditangan kirinya ia membawa dua batang pedang yang berbeda bentuknya.

Sedang di punggungnya terselip sebilah keris yang besar, yang hulunya mencuat di belakang punggungnya.

-oo0dw0oo-

bersambung ke jilid 23

Karya : SH Mintardja

Sumber DJVU http ://gagakseta.wordpress.com/

Convert by : DewiKZ

Editor : Dino

Final Edit & Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/

http://ebook-dewikz.com/ http://kang-zusi.info

edit ulang untuk blog ini oleh Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar